KESENIAN GOONG GEDE DI DESA CITOREK KECAMATAN CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN (DALAM SUDUT PANDANG ‘PERFOMANCE STUDIES’)

KESENIAN GOONG GEDE DI DESA CITOREK
KECAMATAN CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN
(DALAM SUDUT PANDANG ‘PERFOMANCE STUDIES’)



Oleh : Wisnu Wirandi

Artikel
Diajukan sebagai Tugas Kuliah Umum (Stadium General)  Program Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung  tanggal 22 Agustus 2016


       Istilah Goong Gede merupakan sebutan masyarakat Desa Citorek untuk seperangkat gamelan tua yang biasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan upacara ritual yang berhubungan dengan ‘padi’ serta khitanan masal yang dikolektifkan oleh kasepuhan sawewengkon Citorek. Wewengkon merupkan suatu komunitas masyarakat yang mendiami suatu tempat yang terikat dalam suatu aturan yang dinamkan dengan masyarakat Adat kesepuhan. Masyarakat adat kesepuhan adalah kelompok masyarakat yang memiliki kejelasan hak asal-usul leluhur secara turun temurun, menetap di wilayah geografis tertentu dan memiliki ideologi sosial, politik, hukum, budaya serta berdaulat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Adat Kesepuhan merupakan satu kesatauan sosial, histori, ekonomi dan budaya. (Kusnaka Adimihardja. 1992: 14).

       Disebut Goong Gede karena selain bentuknya yang besar,  juga memiliki nilai arti falsafah yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Citorek. Kata Gede yang berarti besar atau paling besar, dalam konteks ini menerangkan bahwa Goong Gede memiliki makna tinggi, yang disebut gede hakekat, gede tarekat dan gede barokah. Artinya masyarakat Desa Citorek mempercayai bahwa dengan menabuh Goong Gede dapat membawa berkah dalam menjalani setiap kegiatan, khususnya yang berhubungan dengan padi untuk kelangsungan hidup mereka.

Sama halnya dengan istilah Goong Gede yang diutarakan oleh Atik Soepandi dan Enoch Atmadibrata bahwa: Yang dimaksud dengan istilah Goong Gede ini adalah gamelan lengkap sehingga merupakan perangkat terbesar di daerah setempat. Perangkat gamelan ini terdapat di daerah Kampung Naga, Citorek Banten Selatan. Dipergunakan sebagai sarana upacara, misalnya seren taun.

Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa seperangkat Goong Gede berada di daerah Kampung Naga, namun sebetulnya Goong Gede tersebut merupakan Goong Gede yang terdapat di Kampung Guradog Desa Citorek Timur sebagai pusat kasepuhan sewewengkon adat Desa Citorek. Kampung Naga merupakan suatu bagian dari daerah kasepuhan Citorek timur, tepatnya Kampung Guradog. Jadi, tidak heran bila Goong Gede dipertunjukan di keempat daerah Kasepuhan Citorek, yakni Citorek Barat yang dipimpin oleh Oyok Umar, Citorek Tengah dipimpin oleh Oyok Undikar, Citorek Selatan dipimpin oleh Oyok Kusdi dan Citorek Timur sebagai pusat kasepuhan sawewengkong Citorek yang dipimpin oleh Oyok Didi.

Hadirnya suatu jenis kesenian tidak terlepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Demikian pula dengan keberadaan kesenian Goong Gede di Kampung Guradog Desa Citorek.

Untuk menguraikan sejarah dalam dunia karawitan, hingga saat ini masih merupakan suatu pekerjaan berat. Hal ini disebabkan oleh masih kurangnya data-data yang otentik yang mendukung. Oleh karena itu tak heran bila tulisan-tulisan tentang sejarah karawitan masih sangat sedikit dan jika pun ada, masih dipandang belum sempurna bila diukur dari tingkat validitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut Jakob Soemardjo menjelaskan bahwa:

Adanya masa kini disebabkan oleh adanya masa lampau. Semua nilai yang hidup dalam masyarakat sekarang, baik yang terealisasi dalam kenyataan maupun yang hanya merupakan idaman tertinggi, adalah kumpulan warisan nilai-nilai masyarakat tersebut di masa lampau. Memang tidak semua nilai di masa lampau (moral, religi, sosial, seni, politik, ekonomi, dan lain-lain) diterima, disetujui, dan dilaksanakan pada masa kini, tetapi sudah melalui seleksi nilai yang memang cocok untuk masyarakat sekarang.

Asal kesenian Goong Gede hingga saat ini masih merupakan sebuah tanda tanya besar. Dikatakan demikian karena data-data tertulis mengenai Goong Gede belum ditemukan.  Awal keberadaan Goong Gede di Desa Citorek hingga saat ini belum pernah ada yang mengetahui sejak kapan dan dari mana asal mulanya, yang masyarakat Desa Citorek ketahui bahwa Goong Gede ini sudah ada di rumah kasepuhan Citorek.

Kesenian Goong Gede erat kaitannya dengan budaya pertanian masyarakat Citorek. Karena dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan padi akan dilakukan, Goong Gede selalu ditabuh. Misalnya, pada kegiatan mipit, tandur, padi sudah tua, dan dibuwat, hingga seren taun.

Parta selaku masyarakat Desa Citorek Timur mengutarakan  mitos tentang Goong Gede bahwa “ceuk caritaan Oyok eta, urang mah turunan pancer pangawinan, baheula mah batur mah peperangan urang mah gogoongan, hartina ngarah salamet” (menurut cerita leluhur itu, kita sebagai turunan Pancer Pangawinan, dulu orang lain perang kita menabuh Goong, artinya untuk keselamatan). Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa menabuh Goong Gede sudah diyakini sebagai ungkapan rasa syukur atas keberkahan dan keselamatan masyarakat Desa Citorek.

Keberadaan Goong Gede di Desa Citorek hingga kini masih tetap terjaga keasliannya. Hal tersebut tidak akan terlepas dari peran masyarakat pendukungnya. Wujud nyata dari peran masyarakat tersebut terlihat jelas pada antusias  masyarakat untuk menghadiri setiap pertunjukan Goong Gede pada ritual-ritual yang berhubungan dengan upacara padi.

Selain itu Saminan  pelaku seni Goong Gede mengatakan bahwa “ieu kahuripan, dipake makaya ku urang jadi teu laku dieuweuhkeun (ini merupakan sumber kehidupan, dipakai sebagai pekerjaan jadi tidak bisa ditiadakan)”. Terlihat jelas dari pernyataan tersebut bahwa betapa Goong Gede sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Desa Citorek.

Keberadaan Goong Gede dapat dikatakan sebagai identitas budaya masyarakat wewengkon Desa Citorek. Hal ini dikarenakan memiliki latar belakang kesejarahan serta berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat yang sebagian besar hidup dengan bertani. Untuk itu masyarakat wewengkon Desa Citorek bersama-sama saling menjaga keutuhan dan keberadaan kesenian Goong Gede.

Dalam naskah Kuliah Umum program pascasarjana ISBI Bandung yang ditulis oleh Dr. G. R. Lono Lastoro Simatupang, dikatakan bahwa pola fikir ‘Perfomance Studies’ dapat digunakan sebagai pisau bedah untuk menelaah proses seni dalam sudut pandang Budaya. Hal tersebut dikarenakan ‘perfomance’ merupakan strategi untuk mengatasi situasi. Seperti dikatakan Suzzane K. Langer dalam bukunya Philosophy in a New Key bahwa simbol tidak mewakili objeknya, tetapi wahana bagi konsep tentang objek. Dalam bicara mengenai sesuatu, kita bicara tentang konsep mengenai sesuatu itu, dan bukan sesuatu itu sendiri; dan semuanya ini tentang konsep, bukan sesuatu itu, simbol-simbol harus diartikan. Bilamana sebuah simbol itu diungkapkan, maka muncullah makna.

Ditulis juga oleh D.R. Lono, bahwa Richard Schechner mendaftar tujuh wilayah perjumpaan teori performance dan ilmu-ilmu sosial, sebagai berikut ;

1.Performance dalam kehidupan sehari-hari, termasuk segala macam pertemuan.
2.Struktur-struktur olahraga, ritual, permainan, dan prilaku politik publik.
3.Analisis atas berbagai cara komunikasi (selain bahasa tulis) ; semiotik.
4.Kaitan antara pola-pola prilaku manusia dan binatang dengan penekanan pada permainan dan    perilaku yang teritualkan.
5.Berbagai aspek psikoterapi yang menekankan interaksi orang per orang, pemeranan, dan kesadaran tubuh.
6.Etnografi dan prasejarah, baik mengenai budaya-budaya eksotik maupun yang dikenal baik.
7.Pembentukan teori-teori pergelaran yang menyatu, yang senyatanya adalah teori-teori perilaku.


    Dari ketujuh pendekatan teori ‘performance’ dan ilmu-ilmu sosial tersebut, kesenian Goong Gede dapat dikaitkan dengan semiotika Roland Barth, bahwa Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Roland Barthes juga menganalisis tentang sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida. Rupanya peristiwa sehari-hari, foto, atau gaya berpakaian juga dapat dianalisis dengan kajian semiotik yang memiliki makna konotasi dan denotasi.

Berdasarkan teori semiotika Barth, Kesenian Goong Gede di desa Citorek kabupaten Lebak-Banten, merupakan kesenian yang erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan padi. Seperti kegiatan  tandur hingga panen padi, Goong Gede wajib ditabuh. Terdapat sebuah kepercayaan masyarakat desa Citorek bahwa ketika mereka menabuh kesenian Goong Gede pada setiap kegiatan yang berubungan dengan padi, maka hasil panen pun melimpah. Begitu pun sebaliknya, jika tidak dilakukan maka akan terjadi gagal panen pada padi di desa Citorek. Fenomena tersebut akan sulit diterjemahkan secara kasat mata ketika kita memandang hal tersebut sebagai fenomena alam saja. Karena seperti dikatakan Jakob Soemardjo dalam bukunya Estetika Paradoks bahwa ‘seni hadir pada manusia melalui pengalaman, yakni lewat inderawinya. Sesuatu yang indera manusia itu membangkitkan kesadaran intelektualnya dan membangkitkan perasaannya.’ Ia menyatu dengan objek pengalaman itu, sehingga kehilangan dimensi ruang dan waktunya. Yang ada hanya pengalaman “sekarang”, tidak ada yang lalu dan tidak ada yang lampau.  Namun hal tersebut dapat kita tafsirkan menggunakan sudut pandang semiotika, karena kesenian Goong Gede di desa Citorek dianggap sebagai ritual religius.

Fenomena yang terjadi pada hubungan antara kesenian Goong Gede dan kegiatan masyarakat menanam padi dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang tabu dan tidak boleh dilanggar. Sebetulnya jika ditelaah, fenomena tersebut merupakan cerminan kehidupan masyarakat desa Citorek yang hidup saling menghormati dan saling terhubung antara manusia, alam, dan sang pencipta. Padi merupakan benda hidup, yang didukung oleh air dan unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Sesuatu yang hidup dapat tumbuh dan mati sesuai dengan siklusnya. Goong Gede adalah benda mati yang dihidupkan oleh seniman pelakunya, dan seniman pelaku Goong Gede sebagai subjek utama kehidupan Goong Gede. Jembatan dari goong gede dengan keterkaitan padi di desa Citorek adalah kepercayaan masyarakat. Jadi, ketiga aspek tersebut saling keterkaitan membentuk satu silkus kehidupan. Pelaku seni Goong Gede merupakan sekumpulan warga masyarakat yang dipilih langsung oleh ketua adat Desa Citorek secara turun temurun, yakni Oyok Didi untuk terus melakukan tugasnya, yakni menabuh Goong Gede. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh jakob sumardjo bahwa ‘ apa yang dipercayai sebagai ada, yakni realitas itu baik dalam diri manusia maupun di luar diri manusia, baik di alam bumi maupun diluar bumi, baik di alam semesta maupun  di luar alam semesta, terdiri dari dua entitas yang saling bertentangan dan komplementer. Mengapa realitas itu harus terbelah dua dalam pasangan-pasangan bertentangan dan komplementer? Agar manusia mengenal apa yang disebut nilai, baik nilai objektif-empirik maupun nilai subjektif-kesadaran.

Pandangan-pandangan tentang apa yang tergambar secara nyata pada fenomena kesenian Goong Gede, seperti keharusan menabuh Goong Gede pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan padi, terdapat keterkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat desa Citorek.

Tata nilai yang telah dianut pada masyarakat desa Citorek bukan hanya terkait aspek sosial-budaya semata tetapi terintegrasi pula dengan aspek lainya seperti sistem ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Salah satu komunitas desa adat yang masih eksis dan terus menjaga tata nilai budaya leluhur mereka terutama dalam sistem budaya pertanian adalah Kasepuhan Wewengkon Citorek yang tergabung dalam Kesatuan Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI) salah satu desa adat di Indonesia yang terletak di Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Timur, Desa Citorek  Kidul, Desa Citorek Barat dan Desa Citorek Sabrang Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Komunitas ini merupakan kelompok masyarakat adat sunda yang tinggal di sekitar Gunung Halimun, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten Lebak, dan ke Utara hingga ke Kabuptaen Bogor.

    Sisi menarik dan sangat menonjol diantara banyak keunikan dari komunitas ini adalah terkait penjagaan adat dalam pengelolaan sistem pertanian padi yang mereka lakukan. Bagi mereka, bertani  bukan hanya sekedar aktifitas ekonomi semata terkait menanam, memelihara dan memanen. Lebih dari itu, bertani adalah bagian dari nafas budaya dan penjagaan adat istiadat dari leluhur mereka. Disinilah diterapkan sebuah sistem pertanian yang terus dijaga ketat dalam aturan adat dan dipantau langsung oleh Oyok Didi sebagai pemangku Adat Kesepuhan Wewengkon Citorek.

Diantara aturan adat terpenting dalam hal pertanian adalah larangan melakukan komersialisasi produk pertanian padi yang mereka tanam. Maka, pasca panen hasil pertanian disimpan di lumbung-lumbung (leuwit) yang semua warga kasepuhan wajib memilikinya  untuk kebutuhan pangan mereka dan kebutuhan sosial lainya, termasuk juga adanya leuwit "Aub" milik kasepuhan.

Begitu pula dengan pemakaian bahan kimia sintetis dalam kegiatan pertanian di kasepuhan pun tidak diperbolehkan. Benih padi yang ditanam warga harus  benih padi varietas lokal dan musim tanam hanya dilakukan satu kali  dalam satu tahun.

Alhasil dalam pangan masyarakat tidak pernah kekurangan atau kelaparan apalagi harus import dari negeri tetangga. Sistem pertanian mereka pun tidak tergantung pada pihak luar, sehingga tidak ada ketergantungan yang berlebihan karena secara adat telah menyediakan semua kebutuhan proses produksi pertanian seperti benih lokal yang hingga saat ini telah ada lebih 68 varietas lokal (bank benih), pupuk organik dari pemanfaatan kotoran hewan ternak dan lainya. Sebuah kearifan budaya bangsa yang ditinggalkan bangsa modern Indonesia, yang mengimpor segala macam produk pertanian sementara manusia modern Indonesia ini tinggal di negeri khatulistiwa, sungguh sangat ironis.

Inilah sebuah komunitas milik kekayaan budaya bangsa Indonesia yang telah dan terus secara nyata menjaga adat maupun aturan leluhur demi kemakmuran masyrakat setempat. Komunitas banten kidul telah membuktikan bahwa dengan aturan adat mereka masih bisa melaksanakan kewajiban sebagai petani semabri menjaga aturan dan nilai-nilai luhur yang diyakini mampu menjawab kebutuhan serta tuntutan kehidupan di saat ini dan masa mendatang serta telah terbukti selama ribuan tahun.

Apa yang dilakukan oleh komunitas ini. Khususnya terkait sistem pengelolaan pertanian menjadi inspirasi penting bagi penetapan cara pandnag kita dalam mengatasi berbagai persoalan yang membelit negeri ini khususnya dalam hal penyediaan pangan dan pertanian.

Mental kemandirian untuk memenuhi pangan sendiri (swasembada) menjadi kata kunci dalam upaya mengatasi kelangkaan pangan, bukan dengan melakukan alternatif impor secara terus-menerus. Petani harus dijadikan sebagai pelaku utama dalam sektor ekonomi dan pertanian serta negara harus melindungi mereka melalui kebjakan-kebijkan dan dukungan teknis yang pro petani bukan pro kapitalis, apalagi mafia-mafia produk pertanian. Inilah bukti konkret bahwa petani memiliki nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya bahkan menjadi bagian penting pelaksana kedaultan pangan bangsa Indonesia. Indonesia pun akan berdaya dan mandiri, sungguh mengagumkan.

 Dapat di simpulkan bahwa, tata cara pandangan masyarakat adat Desa Citorek tertuang dalam seni pertunjukan Goong Gede. Aturan-aturan yang diberlakukan oleh Oyok Didi selaku ketua adat terhadap seniman pelaku goong gede dalam menabuh, tertuang dalam silkus kehidupan masyarakat desa Citorek. Sehingga tak heran bila kehidupan masyarakat desa Citorek cukup makmur dengan hasil panen padi yang walaupun hanya 1 tahun sekali panen.


Daftar Pustaka

Wirandi, Wisnu
2013    Kesenian Goong Gede di Desa Citorek Kabupaten Lebak Provinsi Banten (Tinjauan Fungsi dan Bentuk Gending).Bandung: Skripsi STSI Bandung.

Sumardjo, Jakob
2000    Filsafat Seni. Bandung: ITB
2006    Estetika Paradoks, Bandung: STSI Bandung Press.

Soepandi, Atik
1988    Kamus Istilah Karawitan Sunda, Bandung: Pustaka Buana.

Soepandi,Atik dan EnochAtmadibrata
1982    Khasanah Musik Daerah Jawa Barat, Bandung: Pelita Masa  

Sumber Online
www. Google.com



Post a Comment for "KESENIAN GOONG GEDE DI DESA CITOREK KECAMATAN CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN (DALAM SUDUT PANDANG ‘PERFOMANCE STUDIES’)"