Review Buku Estetika Paradoks (Jakob Soemardjo)

REVIEW BUKU ESTETIKA PARADOKS


Karya                                : Jakob Sumardjo
Oleh                                  : Wisnu Wirandi
Judul Buku                       : Estetika Paradoks
Penulis                              : Jakob Sumardjo
ISBN                                 : 979-25-9830-8
Penerbit                             : SUNAN AMBU PRES
Editor /Penyelaras Kata    : Ipit S. Dimyati
Desain cover                     : Joko Kurnian
Gambar sampul                : “ Tokoh Dipercaya Rakyat” karya Alex Lutfi
Tahun Terbit                     : 2006
Tebal                                 : 228 halaman


1. PENGANTAR

   Puji dan syukur penulis limpahkan kehadiratALLAH S.W.T. atas rahmat dan karunia-Nya,yang senantiasa dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas review buku Estetika Paradoks karya Jakob Sumadjo.  Adapun review buku ini merupakan tulisan ilmiah sebagai salah satu tugas mata kuliah Kajian Antropologi Seni. Resensi ini dibuat berdasarkan isi buku yang berjudul Estetika Paradoks serta kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada buku tersebut.Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Kajian Antropologi Seni atas bimbingannya sehinga resensi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.Penulis berharap resensi ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.Penulis mememohon maklum jika resensi ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu penulis mengaharpkan kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca.
Bandung, 20 September 2016
Penyusun
Wisnu Wirandi

2. PENDAHULUAN
   Buku ini berisikan tentang estetika Sunda dalam beberapa jurnal, artikel, serta beberapa buku.Diantaranya buku “Pola Rasional Masyarakat Sunda”.Tidak banyak penulis yang menulis mengenai tanah Sunda dan Pak Jakob adalah salah satunya.Estetika paradok diberi prolog khusus yaitu bahwa buku Estetika paradok merupakan sebuah buku provokatif. Memprovokasi bangsa Indonesia untuk bangga akan artefak budaya, seni dan banyak hal yang dapat kita runut pada pemikiran-pemikiran masa lalu nenek moyang kita yang sudah luar biasa.Selian itu juga, buku Estetika Paradoks karya Jakob Sumardjo mengupas tentang benda-benda seni yang berasal dari konteks berfikir kolektif pra-modern.

    2.2  Tujuan Pengarang
         Melalui Estetika Paradok, Jakob Sumardjo berusaha membuka paradigm masyarakat dengan memprovokasi melalui tulisannya agar masyarakat Indonesia khususnya Sunda dapat mengenali mitos-mitos dan karakter falsafah yang ada dalam budaya Nusantara.
    2.3  Tujuan Penyusunan Resensi
         • Untuk memenuhi tugas Kajian Antropologi Seni, yang ditugaskan oleh Dosen (Bapak Dr. Deni Hermawan, M.A dan Bapak Dr. Ipit S. Dimyati, S.Sn, M.Si.).
         • Untuk menambah wawasan dan mengasah kemampuan untuk membuat resensi
         • Untuk melatih diri dalam bekerja dan sebagai informasi kepada seluruh pembaca tentang isi buku Estetika Paradoks.
    2.4  Manfaat Buku Estetika Paradoks
         Buku Estetika Paradoks ini bermanfaat bagi semua masyarakat khususnya bagi mahasiswa yang ingin mengkaji budaya melalui perspektif prinsip atau pola mitologi.
    2.5  Manfaat Resensi
         Resensi ini bermanfaat agar pembaca dapat mengetahui sebagaimana layaknya buku ini untuk dibaca.Selain itu juga, agar pembaca dapat menaruh minat untuk membaca buku tersebut.

3.  PEMBAHASAN
    3.1 Deskripsi Isi Buku
        Estetika paradoks merupakan sebuah karya dari Jakob Sumardjo.Jakob banyak menulis mengenai estetika Sunda dalam beberapa jurnal, artikel, serta beberapa buku.Diantaranya buku “Pola Rasional Masyarakat Sunda”.Tidak banyak penulis yang menulis mengenai tanah Sunda dan Pak Jakob adalah salah satunya.Estetika paradok diberi prolog khusus yaitu bahwa buku Estetika paradok merupakan sebuah buku provokatif. Memprovokasi bangsa Indonesia untuk bangga akan artefak budaya, seni dan banyak hal yang dapat kita runut pada pemikiran-pemikiran masa lalu nenek moyang kita yang sudah luar biasa.
    Kekosongan, kehampaan, ketiadaan, awang awang awung, suwung merupakan awal dari segalanya, begitu dalam mitologi masyarakat Jawa.Kosong adalah awal mula munculnya hal-hal yang dualistik.Matahari dan bulan, laki-laki dan perempuan, gelap dan terang.Mitos-mitos diungkapkan dalam buku ini.Kepercayaan masyarakat lama diungkap oleh jakob.Mulai dari konsep mitologi jawa, sunda, nias, suku asmat dan beberapa wilayah di Indonesia.
    Dalam Estetika Paradoks juga dipaparkan mengenai beberapa prinsip atau pola mitologi.Pola dua biasanya pola-pola yang paradoksal dan saling melengkapi.Misal laki-laki perempuan, matahari bulan, siang malam, yaitu mitologi asmat, ruing, menado dan nias.Beberapa contoh seni pertunjukan dan dasar mitologi pola dua juga dipaparkan singkat.Sedang penganut pola tiga yaitu, Sunda Minangkabau, bugis, batak.Bentuk-bentuk mitologi atau pola biasanya diaplikasikan pada benda-benda, perunjukan dan bentuk seni rupa pula.Pola tiga, biasanya digambarkan dalam atas tengah dan bawah.Ada penengah diantara 2 hal, Jakob membahas tentang rumah-rumah adat orang flores, sunda Jambi dan Batak Toba yang menganut mitologi pola tiga.
    Ada pula pola empat dan lima. Pola empat biasanya diapakai pada daerah-daerah melayu, kerinci dan ternate. Pola lima yang dijelaskan oleh Jakob Sumardjo pada mitologi orang Bali, diantaranya pada mitos Oedipus – atugunung. pola lima juga juga dipakai dalam naskah manikmaya. sebuah naskah genesis(kejadian) tentang semesta. Manikmaya berbahasa Jawa Baru dan disimpulkan dari bahasanya bahwa manikmaya lahir ketika kerajaan Islam Jawa. Estetika pola lima juga digunakan pada seni pertunjukan wayang. baik wayang orang maupun wayang kulit.
    Melalui Estetika Paradok ini kita dapat mengenali mitos-mitos dan karakter falsafah yang ada dalam budaya kita masing-masing.Selain itu juga, buku ini mengupas tentang benda-benda seni yang berasal dari konteks berfikir kolektif pra-modern. Tetapi karena seni modern pun berurusan dengan spiritualitas, sesuatu yang transenden, yang baru, dan segar dari yang belum pernah ada atau diciptakan orang, maka seni tradisional juga berurusan dengan itu. Bahkan bukan hanya sebatas pengetahuan tentang yang transenden, tetapi juga mengimani hadirnya yang transenden tersebut, yakni daya-daya (energi) transendennya. Jakob Sumardjo berharap bahwa buku ini benar-benar mampu menambah kecintaan dan kesadaran akan kekayaan nenek moyang kita atas karyanya dan pemikirannya.

    3.2 Analisis Penyusun
        Buku Estetika Paradoks terdiri dari 17 bab bahasan, diantaranya (1). Asal Mula Kata Seni, (2). Filsafat Indonesia, (3). Completio Oppositorum, (4). Pola Dua, (5). Simbol Seni, (6). Estetika Pola Dua, (7). Pola Tiga, (8). Seni Ritual, (9). Estetika Pola Tiga, (10), Pola Empat, (11). Estetika Pola Empat, (12). Pola Lima, (13). Estetika Pola Lima, (14). Seni Batik, (15). Wayang Kulit, (16). Gunungan Wayang, (17). Seri Keris. Pada kesempatan ini penyusun akan membahas pembahasan-pembahasan tersebut perbab.
    Pada bab 1 Jakob Sumardjo mendefinisikan kata seni mengadopsi dari konsep barat, yang mana dijelaskan bahwa pengertian seni itu berubah-ubah sesuai dengan zamannya. Pengertian seni dari zaman yunani berbeda dengan pengertian seni dalam abad pertengahan, berbeda pula dengan zaman awal modern Barat, yakni Renaissance.Dari semua itu dijelaskan bahwa kata seni merujuk pada arti halus, kecil, tipis, dan lembut. Penulis sepakat dengan apa yang dijelaskan oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Estetika Paradoks terkait perbedaan substansi arti kata seni yang berubah sesuai dengan zamannya. Dapat penulis simpulakan bahwa, seni pada masyarakat tradisi lebih difungsikan untuk ritual, sementara seni pada masyarakat modern lebih difungsikan untuk profane (hiburan) semata, atau art of art (seni untuk seni).
    Bab 2, ditulis oleh Jakob Sumardjo membahas mengenai filsafat Indonesia. Dikatakan bahwa Bangsa Indonesia tidak memiliki semacam sejarah filsafat seperti masyarakat Barat.Manusia Indonesia lebih menyukai laku daripada ilmu.Praksis lebih penting dari pada teori.Fikiran-fikiran bangsa Indonesia ditujukan pada pengalaman transenden, yakni menyatu dengan Tuhan atau daya-daya transenden.Dikatakan juga bahwa filsafat Indonesia selalu kembali kepada hubungan manusia dengan semesta, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini, penyusun sepakat dengan apa yang ditulis oleh Jakob Sumardjo, karena memang realita yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada umumnya masih di pengaruhi oleh idiom-idiom  paradigm tradisi yang ortodoks. Sehingga tidak heran bila filsafat Indonesia lebih menekanka pada akar budaya dan tradisi masyarakatnya, bukan pada kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi.
    Pada bahasan selanjutnya, bab 3 dibahas mengenai ‘Completio Oppositorum’. Pada konsep ini dijelaskan bahwa realitas itu terdiri dari pasangan kembar oposioner namun saling melengkapi.Tulisan pada bab ini hanya sebagai pengantar pada pandangan-pandangan terhadap pola-pola mitologi tradisi. Namun, penyusun menyayangkan pada bagian ini tidak dibahas lebih lanjut tentang hubungan dualistik antara kehidupan manusia dengan ruang kosmos yang mana keduanya terdapat harmoni yang paradoks.
    Bab 4, membahas tentang pola dua. Dijelaskan oleh Jakob Sumardjo bahwa dasar berfikir pola dua adalah bahwa hidup itu pemisahan dan hidup itu persaingan serta hidup itu konflik.Adanya hubungan oposisi yang semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu.
    Pada bab 5, dibahas tentang Simbol Seni. Jakob Sumardjo mengutip pernyataan Suzzane K. Langer dalam bukunya Philoshopy in a New Key bahwa simbol tidak mewakili objeknya, tetapi wahana konsep tentang objek.Dalam bicara mengenai sesuatu, simbol harus diartikan. Bilamana simbol diungkapkan, maka akan munculah makna. Tulisan pada bab ini merupaka pijakan Jakob Sumardjo untuk membahas simbol-simbol seni masyarakat berpola piker pola dua.
    Bab 6 membahas tentang Estetika Pola Dua. Dijelaskan bahwa dalam masyarakat suku yang berpola piker pola dua yakni dualistik-antagonik, merupakan pasangan-pasangan oposisi substansial yang lebih menekankan “pertentangan” dari pada “komplementer”, meskipun disadari makna saling melengkapi. Masyarakat pola dua hidup dalam eksistensi dualisme itu.
    Bab 7 membahas tentang Pola Tiga. Pola tiga dalam kebudayaan pra-modern Indonesia berkembang di lingkungan masyarakat primordial yang hidup dengan cara berladang. Pada pola tiga ini tergambar hubungan antara alam, manusia dan tuhan.Hubungan dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah.
    Bab 8, membahas tentang seni ritual. Dijelaskan bawha religi selalu berhubungan dengan sesuatu diluar pengalaman manusia-budaya.Bagaimana sesuatu yang transenden itu dapat dihadirkan dalam dunia manusia.Sesuatu yang tidak dikenal tetapi dipercaya sebagai realitas, hanya dapat digambarkan melalui simbol-simbol.Atau sesuatu yang tak dapat dirumuskan manusia, tetapi hadir hanya dapat digambarkan dalam simbol seni.
    Bab 9, membahas tentang Estetika Pola Tiga.Pola tiga cenderung horisontalis, yakni lebih mengutamakan paradoks duniawi daripada paradoks surgawi.Dalam budaya pola tiga kurang dikenal adagium “manunggaling Kawula-gusti” yang lebih vertical.Mistisme lebih berkembang dalam masyarakat pesawah yang berpola lima-sembilan.Jakob Sumardjo pada estetika pola tiga lebih membahas mengenai simbol-simbol dunia tengah, yakni duniwi.Pada tulisan ini penyusun tertarik dengan idom-idiom simbol yang dihadirkan, karena beliau mengkaitkan dengan beberapa etnik pada masyarakat Indonesia.
    Selanjutnya, pokok bahasan pada bab 10 Jakob Sumardjo membahas mengenai pola emapt. Dijelaskan bahwa pengaturan pola empat berawal dari kehidupan masyarakat pesisir atau kepulauan.Masyarakat yang menghuni pulau-pulau kecil hidup dari kesuburan tanah dan kekayaan laut.Kosmologinya terdiri dari tanah perbukitan, langit (hujan), laut, dan dunia manusia sendiri.Disini terdapat empat pasangan kosmos yng membuat hidup tetap berlangsung.Segala sesuatu yang sempurna terdiri dari empat komponen dasar, yakni pola empat. Pokok bahasan selanjutnya, dilanjutkan pada bab 11, yakni estetika pola empat.
    Bab 11, Estetika Pola Empat. Pada dasarnya penjelasan pada bab ini telah di bahas pada bab sebelumnya. Jakob Sumardjo pada bagian ini hanya menambahkan uraian-uraian tentang analogi-analogi pada masyarakat etnik seperti penjelasan mengenai atap rumah adat kepulauan Indonesia Timur yang mirip perahu terbalik.
    Bab 12, penjelasan tentang Pola Lima. Pengaturan pola lima dijelaskan bahwa berkembang dalam masyarakat yang sejak awal pemukimannya di suatu daderah mengandalkan hidupnya dari pesawah. Masyarakat pesawah adalah petani yang berbeda dengan masyarakat peladang yang juga petani. Di Indonesia, masyarakat peladang dan pesawah menggantungkan sumber hidupnya dari bertani menanam padi. Kalau masyarakat peladangbertani padi di daerah perbukitan, masyarakat sawah bertani padi di dataran rendah.Terdapat perbedaan diantara keduanya.
    Berlanjut penjelasan pola lima pada bab 13, yakni Estetika Pola Lima. Pola lima adalah kategori etika, seperti pola-pola lain yang sudah dibicarakan oleh Jakob Sumardjo. Kebudayaan pra-modern pola lima masuk kategori budaya mitis-spiritual. Budaya seni pra modern bukan kategori budaya ontologis-sekuler seperti diungkapkan van peursen.
    Bab 14, penjelasan tentang Seni Batik. Dijelaskan bahwa seni batik merupakan produk pemikiran manusia sawah, dibuktikan dari motif-motif yang merupakan simbol kosmologi mereka.Bukti otentitas itu terletak pada simbol-simbol gambar batiknya.
    Berlanjut pada bab 15, penjelasan tentang Wayang Kulit. Berdasarkan tulisan Jakob Sumardjo bahwa wayang kulit di jawa asli fikiran orang sawah.Terdapat berbagai tafsir dari asal katanya. Wayang berasal dari kata mayang atau mahyang, yang berate hubungan dengan roh-roh nenek moyang. Hubungan itu dilakukan dengan cara mendatangkan roh-roh itu di dalam pertunjukan yang melakonkan riwayat mereka.
    Dijelaskan lebih detail tentang wayang pada bab 16, yakni lebih spesifik pada Gunungan Wayang. Karena tidak ada pertunjukan wayang tanpa gunungan wayang.Dijelaskan bahwa gunungan berasal dari kata gunung, jadi sesuatu yang bersifat gunung. Gunung di jawa adalah gunung api, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang menjulang dari permukaan bumi menjulang ke langit tinggi. Gunung menghubungkan langit dan bumi,  dalam arti lain Jakob Sumardjo menjelaskan Dunia atas dan Dunia Bawah. Gunung simbol mediasi, axis mundi, yang menghubungkan dunia manusia dengan mahluk-mahluk dunia atas (langit maupun bumi).
    Bab terkhir dari buku Estetika Pradoks menjelaskan tentang Seni Keris. Dijelaskan bahwa keris adalah benda pusaka yang mengandung daya-daya gaib. Tentu saja ada keris demi benda seni belaka, tanpa pretense “diisi” daya-daya transenden, dan ada keris yang memang dikerjakan dengan maksud diisi daya-daya transenden. Keris juga merupakan medium vertical seperti gunungan wayang, pohon hayat, pucuk rebung, tumpal, candi, dan stupa. Keris adalah keramat, karomah, yang merupakan medium sakral.
    Dari ke 17 bab bahasan, penyusun menemukan dua kekurangan pada buku Estetika Paradoks. Kekurangan tersebut meliputi :
    1. Struktur bahasa yang kurang memperhatikan Ejahan Yang Disempurnakan (EYD) berdasarkan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar,
    2. Ditemukan banyak pengulangan bahasan pada setiap bagian bab per bab nya, seperti pembahasan tentang pola tiga, dibahas lagi pada estetika pola tiga yang secara harfiah itu terdapat kesamaan makna.

4.  PENUTUP
    Secara umum, tulisan Jakob Sumardjo dalam bukunya Estetika Paradoks telah bisa memberikan pengetahuan baru tentang simbol-simbol dan “Pola Rasional Masyarakat Sunda”.yang berasal dari konteks berfikir kolektif pra-modern. Agar lebih bisa memberikan deskripsi yang lebih mendalam, saya merekomendasikan pembahasan-pembahasan yang diulang pada setiap bab, hematnya di satukan dalam satu pokok bahasan.

5.  DAFTAR PUSTAKA
    Sumardjo, Jakob, Estetika Paradoks,Sunan Ambu Pres: 2006

oleh : Wisnu Wirandi, S.Sn

Post a Comment for "Review Buku Estetika Paradoks (Jakob Soemardjo)"