Semiotika Menurut Pandangan Roland Barthes
Latar Belakang
Cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan
hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang
berjudul, Teori Budaya dan Budaya Pop (An Introductory Guide to Cultural
Theory and Popular Studies, 1993) telah memetakan budaya pop dalam lanskap cultural
studies. Dalam bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey
lebih memfokuskan kajiannya pada implikasi teoretis, implikasi metodologis, dan
percabangan yang terjadi pada saat-saat tertentu dalam sejarah kajian budaya
pop. Storey cenderung lebih memperlakukan teori budaya atau budaya popular
sebagai sebuah proses pembentukan wacana (discursive formation).
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey
menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan
Pascastrukturalisme”. Barthes tidak hanya sering disalahpahami
konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh
strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang
membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam
kategorikategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang
khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg,
Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi
Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi
terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya
St. Sunardi (2004). Adapun Karya-karya Barthes tentang analisis sejumlah
fenomena budaya pop antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera
Lucida.
Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya
tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan
konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic system. Semiotika
berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah
model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili
sesuatu objek representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan
istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan
istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah
pada tradisi Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto
Eco, sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik
ataupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan
keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
Pembahasan
1. Semiotika
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita
pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia
dan bersama-sama manusia. Semiotika—atau dalam istilah Barthes, semiologi—pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S.
Hidayat menjelaskan bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan
segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan
semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu untuk mengetahui apa
yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda.
Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi daan konsumsi arti.
Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik,
semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya,
dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau
signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa
makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara
‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda
(signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau
“coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda
adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental
dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena
itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan
atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk
tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda
dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata
Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama,
semiotika komunikasi yang menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses
komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang
dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata
lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran
ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi,
yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia,
sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh
penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya
sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di
balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif dengan
tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini,
pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian
produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan
bermimpi menggantikan filsafat.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean
berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara
aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung
hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi
Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian
bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara
berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev
dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics).
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan
pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran
ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem
ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
2. Prinsip Semiotika Menurut Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama
bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order
of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat”
karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon
beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap
ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua
tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1)
penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif.
Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa
ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif.
Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan
tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru
dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu
tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka
akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan
pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa
bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah
dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat
sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat
cinta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna
denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos,
bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié
dan muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah
Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu
(bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di
dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya
adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression
(bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk
signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja
hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa
sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan
kata meja hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini
yang disebut konotasi.
Derrida membangun teorinya dengan argumen yang bertolak
belakang dengan pemikiran Husserl. Husserl mengemukakan bahwa makna ujaran
adalah yang diinginkan oleh pemroduksi tuturan. Bahasa yang utama adalah
tuturan. Bagi Derrida, bahasa bersifat memenuhi dirinya sendiri (self-sfuficient),
dan bahkan terbebas dari manusia. Derrida melihat bahasa bersumber pda
“tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang secara maksimal memnuhi dirinya sendiri
karena tulisan menguasai ruang ruang secara maksimal pula. Sebenarnya pemaknaan
yang dilakukan oleh Derrida adalah pemaknaan membongkar dan menganalisis secara
kritis (critical analysis). Teori ini bertolak dari teori Saussure
tentang tanda.
3. Pandangan Roland Barthes dalam Karya-karyanya
Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap
sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies, The Fashion
System, ataupun Camera Lucida, memang tidak terkait dengan apa yang
dilakukan oleh Hoggart maupun Williams di Inggris. Bahkan Barthes menulis
kajian terhadap budaya massa lebih awal, yakni pada tahun 1954-1956 yang secara
reguler dia tulis untuk sejumlah media yang kemudian diterbitkan menjadi buku
dengan judul Mythologies; dibandingkan tulisan-tulisan Hoggart maupun
Williams untuk The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies.
Tulisan Hoggart yang berjudul The Uses of Literacy (tentang kegelisahan
anak-anak muda terutama kelompok “the juke-box boys”), yang dianggap sebagai
tonggak school of thought kajian budaya di Inggris, diterbitkan pada
1957. Oleh karena itu, Barthes dapat digolongkan sebagai salah satu tokoh cultural
studies dari kutub pemikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali
dikutip sebagai cikal bakal berdirinya kajian budaya ini.
1) Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas
dua subbab, yakni: (1) “Mythologies”, dan (2) “Myth
Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan
mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan
dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya,
ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan Odiseus
yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga
di belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia. Barthes sama
sekali tidak menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis dan legendaris
tersebut.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes
mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam
film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet,
masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citroën,
plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana
dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan
bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang
topik-topik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa.
Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain
merupakan refleksi atas mitos-mitos baru masyarakat Prancis kontemporer. Lewat
berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel
surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun
pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di
balik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second
order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya. Mitos merupakan
salah satu type of speech. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos masa
kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang kedua yang
berjudul “Myth Today”.
2)
Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan
panjang lebar mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam
buku ini Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier)
mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau
signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas
dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya.
Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai
salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model
pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang
membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu,
upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian
musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna
pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi
simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan
dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode.
Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga
telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang
memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan. Hal ini tidak
hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia.
Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah
satu kajiannya, mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah
satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang
dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang
memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di
berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali
dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal
kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender
yang selama ini sering dikonter oleh para feminis.
3)
Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang
foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini
diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message” pada
1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya
ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah
foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup
menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat
meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah
dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa
tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message)
yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah
dimiliki sebelumnya.
Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika
Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah
memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu
berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna
denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota
persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus.
Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan
tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin
yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan
Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang
tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer Prancis yang tengah
memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto
ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes
menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar,
tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia,
melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas
para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan
pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi
tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam
sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan
foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali
memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi,
2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak
memfokuskan pada foto-foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan
kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada
dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas
foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya
dengan pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan
sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman
seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang
foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi,
animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes
untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada
satu titik (St. Sunardi, 2004:166).
Simpulan
1 Berdasarkan berbagai pendapat ahli,
dapat disimpulkan bahwa semiotika atau semiologi merupakan cabang penelitian
sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order
of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut
akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk
tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi
mitos
3 Roland Barthes juga menganalisis
tentang sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies, The Fashion
System, ataupun Camera Lucida. Rupanya peristiwa sehari-hari, foto,
atau gaya berpakaian juga dapat dianalisis dengan kajian semiotik yang memiliki
makna konotasi dan denotasi.
DAFTAR PUSTAKA
Culler,
Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani).
Yogyakarta: Jendela.
Kurniawan.
2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Sumawijaya,
Bambang. 2008. Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar. http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-pengantar/
(diunduh pada tanggal 22 september 2012)
Swandayani,
Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies Perancis: Roland Barthes. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan
Seni, UNY Yogyakarta, pada 14—15 September 2005
Post a Comment for "Semiotika Menurut Pandangan Roland Barthes "
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi