PENGEMASAN MUSIK CELEMPUNG ‘SEBUAH PROSES KREATIF DALAM KARYA SENI’



‘SEBUAH PROSES KREATIF DALAM KARYA SENI’

Oleh   : Wisnu Wirandi, S.Sn

Disampaikan dalam Dialog Kebudayaan (Workshop Pengemasan Musik Celempung) yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak tanggal 17 Mei 2017 di Aula Gedung Koperasi Bangkit, Jl. RT Hardiwinangun No 21-23 Rangkasbitung.

 Abstrak

Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, karena musik adalah representasi atas nilai-nilai dan respon manusia  baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap kehidupannya. Musik juga dapat merepresentasikan kesenangan pribadi atau dalam Bahasa lokal biasa disebut dengan kalangenan. Hal tersebut dapat dirasakan hingga masa sekarang, seperti pada kesenian Celempungan. Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat resonatornya. Namun kini dalam perkembangan celempungan, waditra kacapi, biola, rebab, toleat, karinding, dan sebagainya bisa dijadikan alat tambahan sebagai penuntun nada, hal tersebut sesuai dengan kreativitas penggarapnya. Karena sebuah produk kebudayaan seperti kesenian tidak dapat bersifat statis, mereka harus bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Karena, jika  permainan celempungan tidak mendapat sentuhan kreativitas, maka akan terasa semakin ‘kuno’ dan produk kebudayaan lokal ini semakin lama akan semakin terkikis, sehingga hilang tergeser oleh produk-produk kebudayaan modern.

Kata Kunci: Musik, Celempungan, kebudayaan







Abstract
As a cultural product, music can not be separated from the supporting community, because music is a representation of human values ​​and responses both as individuals and as members of society to their lives. Music can also represent personal pleasure or in a local language commonly called kalangenan. It can be felt up to now, as in Celempungan art. Waditra celempung it self is originally a tool that does not have a standard tone, because the clay sounds out when the tool is struck on the resonator plate. But now in the development of celempungan, waditra kacapi, violin, rebab, toleat, karinding, and so forth can be used as an additional tool as a guide tone, it is in accordance with the creativity of the tiller. Because a cultural product such as art can not be static, they must be dynamic in accordance with the needs and the development of the times. Because, if the game of celempungan not get a touch of creativity, it will feel more 'ancient' and this local cultural products will increasingly eroded, so lost shifted by the products of modern culture.

Key Words: Music, Celempungan, Cultures



PENDAHULUAN
Musik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia baik dalam aktifitas sakral maupun profan, ia telah memiliki daya magis yang mampu menghipotis, oleh karenanya musik memiliki peran yang sangat penting sepanjang hidup manusia sejak pertama kemunculannya, hingga akhir zaman. Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, karena musik adalah representasi atas nilai-nilai dan respon manusia  baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap kehidupannya. Ia adalah ungkapan rasa, ekspresi dan indikator eksistensi manusia. Musik diciptakan bukan hanya dicari dan dinikmati keindahannya saja, melainkan juga dijadikan sarana mengungkapkan rasa kekaguman manusia pada Sang Pencipta Alam, Yang Maha Tinggi. Ia menjadi sarana ibadah, ritual keagamaan dalam konteks kepercayaan masa lalu. Dalam peribadatan kuno, musik sangat urgent, ia merupakan jembatan yang mampu menggerakan unsur sakralitas manusia kepada yang dipercayainya.
Musik juga dapat merepresentasikan kesenangan pribadi atau dalam Bahasa lokal biasa disebut dengan kalangenan. Hal tersebut dapat dirasakan hingga masa sekarang, seperti pada kesenian Celempungan.
Celempung merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu : (1). cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,(2). pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat. Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Selain waditra tersebut, kini dalam perkembanganna, celempung-an waditra nya (alat musiknya) sudah ditambah dengan kecapi, biola serta alat musik melodis lainnya. Jadi kata celempung-an adalah alat musik celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Kata “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada. Hal tersebut merupakan salah satu langkah kreatif dalam pengemasan musik tradisi celempung agar lebih dinamis dalam permainannya.
PEMBAHASAN
‘Proses Kreatif dalam Karya Berkarya Seni Celempung’

Proses kreatif adalah munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu, dan dari pengalaman yang menekankan pada produk yang baru, interaksi individu dengan lingkungannya atau kebudayaannya (Rogers dalam Basuki, 2010).

            Sejalan dengan kutipan di atas, penulis ingin menggaris bawahi tentang tindakan individu (homocreator atau seniman) di dalam melakukan proses kreatif. Artinya dia melakukan tindakan-tindakan penciptaan dan penghadiran karyanya, sekaligus prosesnya itu hasil berinteraksi dengan lingkungan dan kebudayaannya. Proses kreatif sesunguhnya hadir karena keberanian berkreasi. Artinya, keberanian ini adalah suatu keterpusatan dalam diri kita sendiri  dan menjadi fondasi yang mendasari dan memberi realitas pada semua kebijakan dan nilai-nilai pribadi itu.
            Keberanian melakukan proses kreatif sangat diperlukan bagi seorang homocreator, artinya keberanian diperlukan untuk menciptakan sesuatu dari sesuatu yang ada atau pun tidak ada menjadi sesuatu yang baru. Seniman bukan mencipta dari yang tidak ada saja, tetapi dari yang ada untuk menjadi dan mewujud sebuah karya seni. Seniman sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan dan kebudayaan, tentunya banyak melatih kepekaan-kepekaan dirinya, salah satunya melalui keberanian sosial. Keberanian sosial adalah keberanian untuk berhubungan dengan orang lain; kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri dengan harapan mendapatkan keakraban. Keberanian adalah untuk memberikan diri sendiri lebih dari sekurun waktu dalam hubungan yang memerlukan keterbukaan.
            Dalam proses berkarya, selain kita memiliki keberanian untuk membuat sesuatu yang baru, kita juga dituntut memiliki daya kreativitas. Banyak para ahli yang mendefinisikan tentang apa itu kreativitas. Diantaranya ;
Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, dalam bentuk suatu gagasan atau objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock dalam Basuki, 2010).

Kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya dengan tujuan menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik (Alvian dalam Basuki, 2010).

Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfikir (Munandar dalam Basuki, 2010).

Kreativitas merupakan ekspresi tertinggi keterbakatan dan sifatnya terintegrasikan, yaitu sintesa dari semua fungsi dasar manusia yatu : berfikir, merasa, meninderakan dan intuisi (clark dalam Basuki, 2010).

Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock dalam Basuki, 2010).

Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru (Soemardjan dalam Basuki, 2010).

Merujuk sejumlah pengertian-pengertian tersebut, penulis dapat mencatatkan terdapat kata-kata yang kurang lebih sama dalam setiap kutipan, seperti (1). Kemampuan (2). Ide-ide/gagasan (3). Cara-cara baru (4). Pemecahan Masalah (5). Bentuk dan Susunan baru (6). Solusi yang unik. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah dan menerapkannya dalam pemecahan masalah menjadi sesuatu yang baru.
Beberapa aspek kreativitas diatas kini dapat kita tuangkan kedalam berkarya seni musik celempung yang pada awalnya hanya bentuk kesenian kalangenan, selanjutnya kita dapat membuatnya menjadi bentuk yang baru yang lebih menarik dan menjadi jenis kesenian profane atau hiburan masyarakat.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat resonatornya. Namun kini dalam perkembangan celempungan, waditra kacapi dan biola misalnya, bisa dijadikan alat tambahan sebagai penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog bahkan madenda, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Menurut salah seorang pemain dan pencipta celempungan awi di Bandung-Jawa Barat, Kang Dadang atau Ki Utunz, celempungan ini terbuat dari bilah bambu buluh atau awi gombong. “Pokoknya, awi yang bisa 4digunakan untuk dibuat alat musik celempungan ini harus awi yang berbatang besar. Lain dari itu, tidak bisa digunakan,” ungkap Ki Utunz yang ditemui di sela-sela pementasan di Gedung Kesenian Sunan Ambu Institut Seni budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Sabtu 26 April 2017.
 Meski sudah lama memainkan dan membuat alat musik celempungan, Ki Utun tidak tahu sejak kapan alat musik ini mulai digunakan oleh masyarakat Sunda. Yang pasti, katanya, celempung menggantikan suara goong. Hal ini berdasarkan suara yang dikeluarkan dari alat musik ini, yakni “neng gung” (goong).
Mungkin ketika itu goong yang sering digunakan dalam celempungan rusak, sehingga diganti dengan alat yang terbuat dari bambu,” katanya.
Bedanya, goong yang terbuat dari tembaga berbentuk bulat dan ada bulat cembung di tengahnya. Sedangkan goong yang terbuat dari bambu berbentuk panjang bulat dan ada beberapa senar bambu. Panjangnya tidak lebih dari satu ruas bambu yang dibentuk dan diraut sedemikian rupa dan diberi senar awi.
Itulah kamonesan urang Sunda, bisa membuat goong (gong) terbuat dari bambu. Namun hanya sebagian kecil urang Sunda yang bisa membuat gong dari bambu,” paparnya.
Secara praktiknya, cara penyajian kesenian celempungan hampir sama dengan kiliningan dan degung. Hanya yang membedakan adalah teknik memainkannya dan bentuk serta bahan dasarnya. Agar lebih dinamis dalam pertunjukannya, biasanya ada juga dalam celempungan yang menambahkan instrument lain, seperti kecapi (kacapi indung dan kacapi anak), rebabtarawangsa atau kadang-kadang suling dan goong. Lagu-lagunya pun seperti lagu-lagu pada gamelan salendro/pelog dalam kiliningan atau degung. Selain itu biasanya alat musik celempungan dimainkan dengan alat musik bambu lainnya, seperti karinding dan toleat, yang ternyata mampu menarik perhatian masyarakat. Selain suara musiknya yang terbilang aneh, alat musiknya pun kini sangat langka.
Sedangkan alat musik karinding yang biasa dimainkan para petani di saung sawah, selain sebagai seni kalangenan, juga sebagai pengusir hama burung manakala bulir padi sudah menguning. Dalam pertunjukannya penampilan musik karinding diiringi alat musik celempungan yang juga merupakan buluh bambu yang dipukul dengan alat pukul yang terbuat dari karet, cukup mencuri perhatian, karena dianggap aneh dan menarik.

SIMPULAN

Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, karena musik adalah representasi atas nilai-nilai dan respon manusia  baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap kehidupannya. Musik juga dapat merepresentasikan kesenangan pribadi atau dalam Bahasa lokal biasa disebut dengan kalangenan. Hal tersebut dapat dirasakan hingga masa sekarang, seperti pada kesenian Celempungan. Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat resonatornya. Namun kini dalam perkembangan celempungan, waditra kacapi, biola, rebab, toleat, karinding, dan sebagainya bisa dijadikan alat tambahan sebagai penuntun nada, hal tersebut sesuai dengan kreativitas penggarapnya. Karena sebuah produk kebudayaan seperti kesenian tidak dapat bersifat statis, mereka harus bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Karena, jika  permainan celempungan tidak mendapat sentuhan kreativitas, maka akan terasa semakin ‘kuno’ dan produk kebudayaan lokal ini semakin lama akan semakin terkikis, sehingga hilang tergeser oleh produk-produk kebudayaan modern.
DAFTAR BACAAN

2010    Abercrombie, Nicholas, Stephan Hill, Bryan S Turner, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Belajar
2013    Jenks, Chris, Culture : Studi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2012    Jurnal Panggung, Vol.22. No. 3 Juli-September : Bandung : STSI Bandung.
2006    Langer, Susan K, Problematika Seni, terjemahan FX. Widaryanto, Bandung : Sunan Ambu Press-STSI Bandung
2004    May, Rollo, Apakah Anda Cukup Berani Untuk Kreatif (The Courage to Creatif), Jakarta:Teraju
2007    Runco, Mark.A. Creativity: Teory and Themes : Research, Development, and Practice, Sandiego:Elsevier Academic Press.
2003    Wahyudin, Menuju Kreatifitas, Jakarta:Gema Insani