ADAT ISTIADAT SUNDA (PART 1)

ADAT ISTIADAT SUNDA

            Kata Adat berasal dari Bahasa Arab, dalam bahasa Sunda : biasa, umum, lumrah, artinya : segala hal yang senantiasa tetap atau sering diterapkan kepada manusia atau binatang yang mempunyai nyawa, misalnya boleh mengatakan "kuda itu baik adatnya" atau "Jelek adatnya"; tidak pernah dipergunakan untuk kayu, batu, atau lain-lainnya. jadi, dalam bahasa arab adat hampir sama dengan tabiat.
            Pemaiakan kata adat sedapat mungkin dipergunakan untuk penghalusan perbuatan, perlakuan, yang membuat kebaikan orang lain, yang sama adatnya dan tata cara pada umumnya yang terdapat dalam satu desa atau satu negara, seagama, atau sama kebudayaannya. dengan demikian jadilah manusia sederhana yang hidup dalam kesederhanaan, yang tidak akan merusak kebudayaan dan adat kebiasaan pada umumnya. 
           Seandainya sengaja melanggar, misalnya: memakai baju dibalikan, memakai udeng tidak sama dengan orang lain, pakaian terlalu bagus atau terlalu buruk, perkataan tidak sesuai dengan orang lain, duduk tidak sama rendah, berdiri tidak sama tinggi dengan sesama, maka orang ini keluar dari lingkungan adat kebiasaan kelompoknya. 
           ada lagi pemakaian kata adat yang dipergunakan dalam kalimat sebagai berikut baik akik atau selong adat kebiasaannya dipakai untuk mata cincin. jadi bukan adat ang dibawa oleh batu, atau adat yang dibawa oleh yang memakainya, pengetahuan untuk mengetahui perawatan, untuk memilih jodoh, pengaruh, khasiat, atau pengaruh gaib. seperti besi yang sudah menjadi senjata: keris, pedang, golok, khasiatnya untuk keuntungan, derajat, perdagangan, atau perjalanan. semua itu sesudah menjadi adat orang-orang terdahulu, terpaksa oleh ketakhayulan dan kepercayaan selanjutnya bisa dijadikan jimat atau kjeramat, sebagai pengaruh adat yang mempercayainya. demikian pula burung, kuda, ayam, kucing yang berwarna tiga macam (candra mawat) bisa menjadi kepercayaan akan salah satu yang dimaskud oleh yang punya. semua itu bukan adat yang dipercayai, tapi adat kepercayaan. sehingga menjadi peribahasa dalam bahasa sunda, adat lebih kuat dari pada pendidikan yaitu adat yang dibawa dari kodrat, misalnya ingin bahagia tidak mau celaka, ingin bahagia tidak mau celaka, ingin senang tidak mau susah, ingin beruntuk tidak mau rugi, ingin mulia tidak mau hina; adat semacam ini berasal dari kodrat, lebih kuat dari pada adat baru sebagai hasil didikan, sebaba adat asal tetap tumbuh dalam hati yang dididik. apalagi kalau adat itu lazim dipakai oleh sesamanya, besar kemungkinan pada akhirnya tidak akan mengubah adat yang dibawa dari kodrat. adat yang dibawa sejak lahir, adat asli, adat asal adam, adat pusaka atau adat yang asli. 
          masalah bisa dipergunakan untuk menasihati orang lain: jangan lupa kepada kadar, takdir, ketempat asal dilahirkan, ke asal permulaan kita, kadang-kadang dipergunakan dalam bahasa Jawa "ulah adam lalining tapel", menasihati kepada sanak saudara atau kepada bangsanya sendiri. malah biasa menjadi kata-kata orang "memperbaiki gizi tidak awet, mencabuti uban tumbuh lagi", artinya tidak akan dapat menghindari perbuatan kodrat. 
          bila sudah menjadi adat, lama kelamaan seandainya dikenal oleh perbuatan adat yang dibawa dari kodrat, pasti timbul peribahasa: "kuat adat buatan warah, ucing nyandingkeun paisan" artinya, lebih kuat adat daripada didikan, seperti kucing mendampingi ikan. sebab didikan yang datangnya baru, walaupun sudah melekat dalam hatinya, kadang-kadang dilanggar, dan kembali lagi kepada adat asal yang dibawa dari kodrat.