Tradisi 40 Hari Kelahiran Bayi pada masyarakat Adat Banten Kidul Desa Sinar Galih Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak-Banten

Tradisi 40 Hari Kelahiran Bayi pada masyarakat Adat Banten Kidul Desa Sinar Galih Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak-Banten

Lahirnya kebudayaan merupakan wujud ekspresi dari cara manusia memaknai kehidupan. Karena manusia dilahirkan dengan naluri pertahanan diri sehingga ia akan berupaya melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupunlingkungan sosialnya. Dalam hal ini kebudayaan sangat erat kaitannya dengan hasil karya dan karsa manusia dalam perjuangannya mempertahankan hidup. Wujud kebudayaan tersebut di antaranya seni, Bahasa, system keagamaan, teknologi, dan masih banyak yang lainnya.

Mengacu pada definisi budaya menururt Melville J. Herskovits merupakan sesuatu yang turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut superorganic.

Maka, jelas tradisi 40 kelahiran bayi pada masyarakat adat Banten Kidul, khususnya desa Sinar Galih Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak merupakan sebuah produk kebudayaan.

40 hari setelah kelahiran bayi pada masyarakat adat kerap kali disebut dengan istilah Mahinum. Entah istilah tersebut muncul dari mana, yang jelas fenomena tersebut merupakan kegiatan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat di kecamatan Cibeber.

Berdasarkan wawancara via WA bersama salah seorang sahabat yang hidup dalam ruang lingkup adat di kasepuhan Cipta Gelar, rangkaian kegiatan mahinum dimulai dengan tahapan persiapan. Dalam tahapan ini segala sesuatu prihal persyaratan ritual adat disiapkan. Seperti Ngadodol dan mencari peralatan ritual lainnya. Timbul pertanyaan dalam benak kita, mengapa disebut istilah ngadodol?

Dodol merupakan salah satu makanan tradisional yang wajib ada dalam setiap kegiatan adat. Maka dalam kegiatan mahinum pun harus lah dipersiapkan. Istilah Ngadodol sebetulnya dikhususkan untuk kegiatan membuat makanan tradisional dodol, namun dalam konteks manusia sebagai mahluk social, istilah Ngadodol menjadi sebuah pribahasa untuk melakukan kegiatan masak memasak kue dan makanan lainnya termasuk dodol untuk kegiatan Mahinum. Manusia tidak akan terlepas dari cara hidup social, karena mereka saling membutuhkan. Maka ngadodol menjadi media pemersatu masyarakat dalam konteks social Budaya.




Banyak peralatan dan persiapan yang harus dilakukan dalam tahap persiapan yang tidak bisa saya bahas disisni dan perlu pengkajian lebih mendalam.

Tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, yang pertama kali dilakukan adalah Ngiringkeun Ka Cai (menggiring Ibu bayi ke area pemandian). Kegiatan Ngiringkeun ka Cai merupakan kegiatan menggiring si Ibu ke tempan pemandian untuk dibersihkan. Biasanya kalua zaman dahulu dilakukan di wahangan (sungai), namun sekarang karena sudah terdapat tempat pemandian khusus, maka dilakukan pada tempat pemandian tersebut. Si Ibu digiring ke tempat pemandian dengan rombongan kesenian Angklung Buhun. Nah, kesenian ini pun merupakan kesenian yang wajib dihadirkan dalam setiap kegiatan adat. Jika tidak dilakukan, maka akan terjadi mamala atau sebuah kejadian yang tidak diinginkan.

Di tempat pemandian, si Ibu mandi dengan di iringi alunan musik Angklung Buhun. Namun, si Ibu mandi dengan menggunakan sapu pare (sapu yang terbuat dari batang padi) yang dibakar. Nah, abu bakaran hasil dari sapu tersebut digunakan mandi oleh si Ibu.

Setelah mandi, kemudian diambil beberapa helai rambut dan kuku si Ibu lalu kuku dan rambut si Ibu tersebut disatukan dengan tumpeng seupaheun (yang terdiri dari menyan, panglay, kuku dan rambut si Ibu serta perangkat ritual lainnya). Selama prosesi mandi tersebut selalu di iringi oleh alunan musik Angklung Buhun. Kegiatan mandi itu disebut dengan istilah diangir (keramas).

Prosesi selanjunya, disebut dengan istilah Nyangcang. Prosesi nyangcang merupakan proses mengikat tangan si Ibu, si Bapa, dan Bibi dari bayi yang sedang mahinum, dengan menggunakan beberapa helai benang jahit. Benang jahit yang diikatkan pada tangan tersebut dinamakan kenit.

Setelah prosesi Nyangcang dengan Kenit, dilakukan prosesi Nyangcang Hurip. Prosesi Nyangcang Hurip ini merupakan kegiatan memberikan seekor ayam kampung (jantan) kepada Ema Paraji (sesepuh yang dituakan dalam prosesi bersalin). Kegiatan ini merupakan tradisi memohon do’a untuk keselamatan hidup atau dalam istilah lokal disebut do’a kahuripan dari Ema Paraji untuk si Jabang Bayi. Jadi, proses lahiran normal dengan tradisi adat di kampung Cicemet ini biasanya selalu dirawat oleh Ema Paraji dari mulai 7 hari lahiran hingga 40 hari (Mahinum). Pada kegiatan mahinum ini lah pihak keluarga memasrahkan Kembali melalui syareat Ema Paraji untuk keselamatan hidup si bayi, namun hakiatnya tetap pada Allah SWT. Dikatakan demikian, karena masyarakat adat desa Sinar Galih kasepuhan Cipta Gelar merupakan masyarakat Sinkretisme. Artinya, mereka mengimani ajaran agama Islam dan juga melakukan kegiatan adat dan tradisi yang sudah di jalani oleh leluhur nenek moyangnya secara turun temurun.

Setelah rangkaian kegiatan Ritual mahinum selesai, dilakukan kegiatan hiburan dengan menggendong si bayi dan di iringin alunan musik Angklung Buhun dengna lagu sakral yakni Ayun Ambing.

Demikian lah, penjelasan singkat mengenai rangkaian 40 hari kelahiran bayi secara adat kasepuhan di Sunda, khususnya di kasepuhan Cipta Gelar Desa Sinar Galih Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Semoga informasinya bermanfaat dan menambah wawasan kita mengenai kearifan lokal di Kabupaten Lebak.

 

Salam Budaya,

Wisnu Wirandi.


Post a Comment for "Tradisi 40 Hari Kelahiran Bayi pada masyarakat Adat Banten Kidul Desa Sinar Galih Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak-Banten"