Proses menjalankan pemerintahan adat, ketiga puun memiliki tugas dan wewenang berbeda. Kapuunan Cikeusik bertugas mengurusi bidang keagamaan dan pengadilan adat, terutama dalam menentukan waktu pelaksanaan upacara-upacara adat (seren tahun, kawalu dan seba) dan memutuskan hukuman bagi para pelanggar adat. Kapuunan Cibeo berwenang mengurusi bidang pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan Kanekes, termasuk terkait ketertiban wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Kapuunan Cikartawana berwenang mengurusi bidang pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan dan monitoring yang berhubungan denga Kanekes. Dalam lembaga Kapuunan, puun dibantu oleh Girang Serat (‘sekretaris’ puun atau pemangku adat), Baresan (petugas keamanan kampung), Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan), dan Palawari (‘panitia tetap’ dalam berbagai kegiatan upacara adat).
Berbeda hal nya dengan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Masyarakat Kasepuhan berdasarkan cerita para baris kolot (tetua adat) bermula dari runtuhnya Kerjaan Padjadjaran, masyarakat adat percaya bahwa asal muasal Kasepuhan didirikan oleh keturunan Prabu Siliwangi yang melakukan perjalanan ke daerah sekitar gunung Halimun dan mendiami wilayah-wilayah baru yang kemudian berkembang menjadi perkampungan adat yang kini dikenal dengan istilah Kasepuhan.
Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ‘ka’ dan akhiran ‘an’. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti kolot atau 'tua' dalam Bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, munculah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Penyebaran masyrakat Kasepuhan mengakibatkan banyaknya jumlah Kasepuhan yang tersebar di Kabupaten Lebak, masyarakat Kasepuahan mendiami lereng-lereng di pegunungan, hal itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasepuhan menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian (huma dan sawah), dengan padi sebagai komoditas utama.
Padi yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan berbeda dengan padi pada umunya, masyarakat adat mengenalnya dengan nama pare Gede (padi besar). berbeda dengan padi biasa, pare Gede mempunyai masa tanam selama enam bulan, sehingga dalam setahun masyarakat adat hanya menanam padi sebanyak satu kali.
Kehidupan sosial masyarakat adat tidak terlepas dari aturan atau norma-norma adat, ada tiga sistem aturan yang dianut masyarakat adat Kasepuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup, yaitu sistem adat, agama dan pemerintahan. Ketiganya digunakan secara beriringan tanpa ada benturan. Masyarakat hukum adat menggunakan adat istiadat sebagai pedoman hidup dalam sosial kemasyarakatan, aturan tersebut kemudian diwariskan secara turun menurun. Masyarakat adat kasepuhan berpegang pada filosofi tatali paranti karuhun, secara harfiah tatali paranti karuhun bermakana mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia seperti yang dilakukan para karuhun (leluhur) yang merupakan landasan moral dan etik.
Nilai-nilai kearifan lokal tatali paranti karuhun tidak hanya tercrmin dalam tataran religius tapi juga termnifestasikan dalam kehidupan sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat ditemukan melalui berbagai aspek kehidupan manusia, salah sataunya tercermin dalam tata cara bersosialisasi masyarakat adat, yaitu "Hiji ucap, dua lampah, tilu tekad". Artinya yaitu: (1) 'ucap' yang berarti perkataan, perkataan seseorang dapat mencerminkan seperti apa orang tersebut, jadi setiap perkataan mendeskripsikan identitas seseorang itu tadi. pada konteks ucapan atau perkataan, masyarakat adat mempunyai aturan atau norma-norma yang bersifat lisan, walaupun tidak tertulis, tapi aturan itu berlaku dan dipatuhi oleh anggota masyarakat adat.
Sebagai contoh, masyarakat adat mengenal istilah pamali, yaitu sebuah larangan untuk tidak melakukan sesuatu yang karena sifatnya dapat merugikan. Sebagai sebuah larangan, pamali mempunyai konsekuensi bagi pelanggarnya yaitu kabendon (bencana). Percaya atau tidak, ketika anggota masyarakat adat melakukan sebuah kesalahan atau melanggar aturan adat yang telah ditentukan, maka hal buruk akan terjadi kepada pelanggarnya, baik itu penyakit yang tak kunjung sembuh, usaha yang selalu merugi atau bahkan pada tingkatan paling fatal akan mengakibatkan pelanggarnya mati mendadak.
Contoh kongkrit larangan atau pamali di masyarakat adat Kasepuhan adalah teu meunang ngajual beas, beas mah nyawa (tidak boleh menjual beras, beras adalah nyawa). Sehingga hasil panen padi selama satu tahun hanya akan dikonsumsi sendiri dan sisanya disimpan di Leuit sebagai cadangan pangan untuk dua sampai tiga tahun kedepan. Analogi beras disejajarkan dengan nyawa, artinya padi atau beras mempunyai kedudukan begitu luhur dalam pandangan masyarakat adat Kasepuhan.
Masyrakat Kasepuhan percaya bahwa padi merupakan jelmaan dari Nyai Sri (Nyai Pohaci) atau Dewi Padi. Sebagai jelmaan sosok seorang Dewi, padi begitu diistimewakan, maka dari itu ada ritual Ngamumule Pare atau merawat dan memanjakan padi. Ngamumule pare dilakukan selama siklus musim panen, yang setiap proses dalam menanam padi selalu disertai dengan berbagai ritual, mulai dari nibakeun sri ka bumi (proses awal menanam benih padi), tebar (proses menebarkan benih padi), tandur (menanam padi di sawah), salamet pare nyiram (syukuran saat padi mulai akan berbuah), mipit (ritual tanda akan dimulainya proses memanen padi), dibuat (proses panen padi tradisional dengan Etem), Mocong (proses membersihkan dan merapikan padi), Ngunjal yaitu membawa padi dari lantaian (penjemuran) menuju lumbung atau leuit, Ngadiukeun (ritual memasukan padi hasil panen ke dalam lumbung padi) atau juga istilah lainnya ngamitkeun sri ti bumi (ritual merapikan atau memasukan padi yang tadinya di tebar di sawah “bumi” ke dalam leuit), nganyaran (ritual pertama kali memasak pare anyar atau padi baru yang selesai dipanen) Seren taun (ritual puncak ‘syukuran’ sebagai penutup dan awal akan dimulainya proses menanam padi kembali). (2), 'lampah' atau perbuatan, sejatinya antara apa yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang dilakukan, perbuatan juga mendeskripsikan pribadi seseorang. Bagi masyarakat adat, setiap tindakan yang akan dilakukan harus sesuai dengan ketentuan adat.
Bentuk-bentuk karifan lokal tercermin dalam tindakan berupa ritual-ritual warisan nenek moyang yang hingga kini masih tetap dilestarikan. Ritual yang dilakukan tidak hanya bersifat seremonial semata, namun juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan identitas masyarakat adat yang hidup tertata sesuai aturan adat.
Salah satu fiosofi masyarakat adat yang mengatur konsep bagaimana seharusnya bersikap tertuang dalam pepatah atau wasiat para karuhun (leluhur) “nyucrug galur mapay wahangan nete taraje nincak hambalan,” yang artinya dalam kehidupan sehari-hari kita harus jujur mengikuti apa yang telah digariskan, tidak boleh menentang apa yang bukan haknya. (3) tekad yaitu berkaitan dengan keteguhan dan keyakinan masyarakat adat dalam melestarikan apa yang menjadi keyakinannya. Tekad ini tercermin dalam kuatnya aturan-aturan adat atau kebiasaan masyarakat adat yang masih terjaga yang bahkan tidak lekang oleh waktu, walaupun zaman sudah berganti. Masyarakat Kasepuhan bersifat adaptif bukan primitif, sehingga teknologi atau inovasi modern sangat diterima, meskipun beberapa penggunaan teknologi masih belum diizinkan atau istilahnya can nepi ka zaman artinya belum waktunya.
Masyarakat Kasepuhan menganut filosofi 'hirup kudu ngigeulan zaman' atau dalam istilah lain 'ngindung ka waktu, ngabapak ka zaman', filosofi itu mencerminkan bahwa, masyarakat Kasepuhan begitu terbuka mengenai perubahan zaman, mereka menyadari bahwa dunia terus berputar dan zaman pun ikut berganti, sehingga diperlukan adanya penyesuaian agar terjadi keseimbangan antara aturan adat dan kondisi zaman saat ini. Kendati demikian, dengan adanya keterbukaan itu maka tidak secara otomatis menghilangkan tradisi lama dan menggantinya dengan cara baru, ada pakem atau patokan yang tetap dijaga, sehingga keaslian atau hakekat dari tradisi tersebut tidak mengalami perubahan. Penyesuaian terhadap kemajuan zaman terlihat dalam berbagai aspek, dalam teknologi pertanian misalanya, dahulu masyarakat Kasepuhan menggunakan kerbau untuk membantu membajak sawah, namun sekarang sudah menggunakan traktor yang dirasa lebih cepat dan efesien dari segi waktu dalam membajak sawah. Meski demikian tidak semua Kasepuhan melakukan hal yang sama, terdapat beberapa Kasepuhan yang masih menahan diri dari penggunaan teknologi tersebut dengan alasan can nepi ka wanci, can datang ka jaman (belum saatnya).
Pada dasarnya masyarakat Kasepuhan hampir sama dengan masyarakat modern, hanya saja mereka memadukan sikap taat pada aturan adat namun juga tetap menyambut baik modernisasi selama tidak bertentangan dengan aturan adat. Dari ketiga aturan adat (ucap, lampah, dan tekad) semuanya merunut pada bagaimana pola masyarakat hidup dengan tetap mempertahankan nilai-nilai warisan leluhur di tengah-tengah kehidupan yang modern. Disisi lain ucap, lampah dan tekad juga merupakan konsep hidup yang begitu luhur, yaitu konsep hidup yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah keselarasan, keseimbangan dan kedewasaan dalam bertindak dalam menyikapi setiap persoalan. Aturan adat bersifat mengikat sehingga pengikutnya dituntut untuk taat dan patuh guna terciptanya kehidupan yang sesuai tatali paranti karuhun.
Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul tersebar di wilayah Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi. Jumlah Kasepuhan terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Cibeber Kab.Lebak, yaitu Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek. Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Ciherang. Sedangkan Kasepuahan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih berada di Kecamatan Sobang-Lebak serta Kasepuahn Karang yang terletak di Kecamatan Muncang-Lebak. Terdapat juga kasepuhan yang berada di kabupaten Sukabumi, yakni kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Sirna resmi dan Kasepuhan Cipta Mulya.
Kasepuhan juga terbagi menjadi Kasepuhan induk, yaitu Kasepuhan besar dan ada juga Kasepuhan kecil atau Kaolotan yang tersebar di berbagai wilayah. Wilayah Kasepuahan berada di sekitar lahan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan kondisi wilayah pegunungan dan perbukitan. Wilayah yang berbukit-bukit mempengaruhi sistem pemukiman dan pertanian yang semuanya sangat tergantung dengan alam. Masyarakat Kasepuhan mengandalkan sistem pertanian lahan kering yaitu huma dan juga pertanian lahan basah atau sawah.
Post a Comment for "MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN BANTEN KIDUL"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi