MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN BANTEN KIDUL



Defenisi atau istilah tentang “Masyarakat Adat” dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan dan mengundang perdebatan di kalangan para pakar dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Tak heran jika banyak istilah yang dilekatkan pada masyarakat yang masih tunduk dan patuh terhadap tertib sosial dengan berbagai kekhasan-nya sendiri, misalnya masyarakat suku, masyarakat asli, masyarakat tradisional, masyarakat lokal, masyarakat adat hingga masyarakat hukum adat. 

Masyarakat Adat menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999, adalah ‘Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya’. Sementara definisi Masyarakat Hukum Adat menurut UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, BAB I Pasal 1 butir 31 adalah ‘kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum’. 

Keraf A.S dalam buku Etika Lingkungan Hidup (2010: 362) menyebutkan beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain, yaitu: (1). Mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. (2). Mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. (3). Mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah. (4). Mereka mempunyai bahasa sendiri. (5). Biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. Pada akhirnya deskripsi tentang masyarakat adat tersebut masih menggambarkan kondisi masyarakat adat di Indonesia secara umum. 

Maka, dapat disimpulkan bahwa Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat (MHK) merupakan komunitas yang menjaga nilai-nilai budaya hingga turun temurun, yang memiliki aturan-aturan adat. Masyarakat adat telah memiliki identitas yang dari dulu turun temurun, interaksi hidupnya itu ada dalam tatanan-tatanan, sehingga masyarakat adat juga memiliki hukum adat, serta struktur adat. Ini merupakan salah satu identitas masyarakat adat, sehingga dalam konteks regulasi dalam melihat pengakuan Masyarakat Adat di hukum positif itu telah tertuang dalam undang-undang agraria no. 4 tahun 1999, bahwa masyarakat adat itu mempunyai hak wilayah terhadap dinamika kehidupan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasarnya”.

Di Kabupaten Lebak, terdapat terdapat 2 tipologi masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak, yakni Masyarakat Adat Desa Kanekes (Baduy), dan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Kedua tipologi tersebut berdasarkan Perda Kab. Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Perda Kab. Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. Hal ini dikarenakan Kabupaten Lebak terletak di bagian Selatan Provinsi Banten, yang bersebelahan dengan kabupaten Pandeglang di batas bagian Baratnya. Bentuk wilayah yang membujur dari Utara ke Selatan, menghubungkan Kabupaten Lebak dengan Kabupaten Serang dan sebagian dengan Kabupaten Tanggerang di batas bagian Utaranya. Di bagian Timurnya berbatasan dengan dua kabupaten paling Barat Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Sementara bagian Selatannya, Kabupaten Lebak terkoneksi langsung dengan Samudera Indonesia sehingga memiliki wilayah laut sekitar 73,3 km2 dengan Panjang pantai mencapai 91, 42 km. Maka, tak heran jika keragaman budaya di Kabupaten Lebak bervaritif. 

Keberadaan Masyarakat Adat Desa Kanekes (Baduy) dan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, menjadi kekhasan tersendiri bagi Kabupaten Lebak. 

Masyarakat Adat Desa Kanekes atau popular dikenal dengan sebutan “Masyarakat Baduy” atau “Masyarakat Rawayan” adalah sekelompok masyarakat Sunda yang masih mempertahankan gaya hidup tradisional dan mengisolasi diri dari kehidupan modern, segala sesuatunya dilakukan dengan menggunakan aturan adat. Masyarakat Baduy terbagi ke dalam kelompok masyarakat Baduy Dalam dan masyarakat Baduy Luar, hal mendasar yang membedakan keduanya terletak pada ketaatan terhadap aturan adat, hal itu tampak dari cara berpakain dan keterbukaan terhadap kehidupan modern. Masyarakat Baduy Dalam sangat ketat dalam menjalankan setiap aturan adat, sehingga hal-hal yang baerbau modern sangat dihindari, dari segi pakain mereka biasa menggunakan pakaian putih dengan ikat kepala warna senada, berbeda dengan masyarakat Baduy Luar yang biasa menggunakan pakaian warna hitam dan ikat kepala warna biru motif batik Baduy. Masyarakat Baduy Luar sudah cukup terbuka dengan mulai mengenal perangkat teknologi komunikasi yaitu telefon genggam (hand phone).
Istilah Baduy berasal dari nama tempat yang diambil dari nama sungai Cibaduy. Kemudian orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah itu dikenal dengan nama orang Baduy, selain itu istilah Baduy juga berasal dari nama pohon yang hanya terdapat di kampung itu yaitu pohon Baduyut, yang kemudian juga dijadikan nama untuk menyebut orang-orang yang tinggal di sekitar pohon-pohon itu tumbuh. Keterangan lain menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Budha, yaitu agama yang dianut oleh Prabu Siliwangi dan rakyat dari Kerajaan Padjadjaran, hal ini sejalan dengan sumber yang mengatakan bahwa asal muasal masyarakat Baduy adalah berasal dari masyarakat para punggawa Kerajaan Padjadjaran (sekitar abad XVI) yang melarikan diri dari kerjaaan, karena masuknya agama Islam ke wilayah Banten melalui pantai utara Cirebon. Kemudian mereka melarikan ke daerah Banten selatan, di wilayah Pegunungan Kendeng.

Selanjutnya ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka berasal dari kelompok masyarakat pengungsi yang terdesak oleh gerakan perluasan wilayah kekuasaan dan pengislaman dari Kesultanan Banten. Mereka menganut agama Hindu, dan pada mulanya menetap disekitar gunung Pulosari (Kabupaten Pandeglang) yang berhasil ditundukan oleh Kesultanan Banten. Sebagian diantaranya berhasil melarikan diri ke arah selatan dan mendirikan pemukiman baru di tempat pengungsian mereka, maka jadilah pemukiman masyarakat Baduy.  

Sedangkan menurut masyarakat Baduy sendiri, bahwa leluhur masyarakat Kanekes memang sudah sejak dahulu kala mendiami tempat yang mereka tempati sekarang, yaitu Desa Kanekes. 

Masyarakat Adat Desa Kanekes memiliki stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat berdasarkan status atau tingkatan tertentu sesuai kesepakatan. Pelapisan ini didasarkan pada status wilayah kemandalaan (tanah suci) Kanekes. Kemandalaan Kanekes terbagi menjadi tiga lokasi pemukiman: (1) Wilayah Tangtu yang dikenal dengan Baduy Kajeroan atau Baduy Jero; (2) Wilayah Panamping, dikenal dengan sebutan Panamping; dan (3) Wilayah Dangka, yakni kampung yang dianggap dibawah keterikatan secara adat dengan orang Baduy yang mempunyai wewenang kemandalaan secara penuh.  Wilayah Tangtu terdiri atas tiga kampung atau dikenal dengan Tangtu Telu (tiga Tangtu), yaitu Cikesik, Cikartawana, dan Cibeo, ketiganya mempunyai otoritas kemandalaan penuh. Tangtu sendiri bermakan pasti (tentu) sehingga mereka yang tinggal di ketiga kampung tersebut wajib mengikuti setiap aturan adat secara mutlak. Penamaan tangtu berkaitan dengan kayakinan bahwa mereka adalah inti keturunan dan pendiri kampung. Orang tangtu juga dikenal dengan sebutan urang girang yaitu orang yang mempunyai strata lebih tinggi atau dengan kata lain istilah ini digunakan sebagai panggilan kehormatan terhadap orang tangtu. 

Kampung Panamping, kata panamping berasal dari kata tamping, atinya buang. Jadi Kampung Panamping merupakan kampung tempat pembuangan bagi orang-orang tangtu yang melanggar pikukuh (aturan) atau ketentuan adat. Kampung Panamping berada di luar tangtu telu, salah satu Kampung Panamping adalah Babakan Jaro yang merupakan pusat pemerintahan Desa Kanekes. 

Selanjutnya Wilayah Dangka, wilayah ini berada di luar Desa Kanekes, hampir sama dengan Kampung Panamping, Kampung Dangka juga merupakan tempat pengasingan atau pembuangan para pelanggar aturan adat. Mengenai Kampung Dangka, diantaranya ada Cihulu, Cibengkung, Panyaweuyan, Kompol, Kamancing, Nungkulan dan Cihandam. Terkait ketaatan terhadap aturan adat, masyarakat Kampung Dangka sudah cukup bebas, mereka hidup mengadopsi kehidupan modern dan menerima perubahan termasuk keyakinan dalam beragama.

Masyarakat Kanekes dipimpin oleh tiga puun, yakni Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana. Orientasi atau kegiatan para puun merujuk pada pikukuh karuhun. Pikukuh merupakan ketentuan adat mutlak, sedangkan karuhun adalah para arwah nenek moyang. Pikukuh karuhun bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat Kanekes dan dunia ramai. Mensejahterakan dunia dengan prinsip tanpa perubahan apapaun, yaitu melalui: (1) ngabaratapakeun (melakukan tapa terhadap inti jagat dan dunia); (2) ngareremokeun (menghormati dengan cara menjodohkan Dewi Padi/Sanghyang Asri dengan bumi); dan mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan yang ada.

Proses menjalankan pemerintahan adat, ketiga puun memiliki tugas dan wewenang berbeda. Kapuunan Cikeusik bertugas mengurusi bidang keagamaan dan pengadilan adat, terutama dalam menentukan waktu pelaksanaan upacara-upacara adat (seren tahun, kawalu dan seba) dan memutuskan hukuman bagi para pelanggar adat. Kapuunan Cibeo berwenang mengurusi bidang pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan Kanekes, termasuk terkait ketertiban wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Kapuunan Cikartawana berwenang mengurusi bidang pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan dan monitoring yang berhubungan denga Kanekes. Dalam lembaga Kapuunan, puun dibantu oleh Girang Serat (‘sekretaris’ puun atau pemangku adat), Baresan (petugas keamanan kampung), Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan), dan Palawari (‘panitia tetap’ dalam berbagai kegiatan upacara adat). 

Berbeda hal nya dengan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Masyarakat Kasepuhan berdasarkan cerita para baris kolot (tetua adat) bermula dari runtuhnya Kerjaan Padjadjaran, masyarakat adat percaya bahwa asal muasal Kasepuhan didirikan oleh keturunan Prabu Siliwangi yang melakukan perjalanan ke daerah sekitar gunung Halimun dan mendiami wilayah-wilayah baru yang kemudian berkembang menjadi perkampungan adat yang kini dikenal dengan istilah Kasepuhan. 

Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ‘ka’ dan akhiran ‘an’. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti kolot atau 'tua' dalam Bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, munculah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Penyebaran masyrakat Kasepuhan mengakibatkan banyaknya jumlah Kasepuhan yang tersebar di Kabupaten Lebak, masyarakat Kasepuahan mendiami lereng-lereng di pegunungan, hal itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasepuhan menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian (huma dan sawah), dengan padi sebagai komoditas utama.
Padi yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan berbeda dengan padi pada umunya, masyarakat adat mengenalnya dengan nama pare Gede (padi besar). berbeda dengan padi biasa, pare Gede mempunyai masa tanam selama enam bulan, sehingga dalam setahun masyarakat adat hanya menanam padi sebanyak satu kali. 

Kehidupan sosial masyarakat adat tidak terlepas dari aturan atau norma-norma adat, ada tiga sistem aturan yang dianut masyarakat adat Kasepuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup, yaitu sistem adat, agama dan pemerintahan. Ketiganya digunakan secara beriringan tanpa ada benturan. Masyarakat hukum adat menggunakan adat istiadat sebagai pedoman hidup dalam sosial kemasyarakatan, aturan tersebut kemudian diwariskan secara turun menurun. Masyarakat adat kasepuhan berpegang pada filosofi tatali paranti karuhun, secara harfiah tatali paranti karuhun bermakana mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia seperti yang dilakukan para karuhun (leluhur) yang merupakan landasan moral dan etik.

Nilai-nilai kearifan lokal tatali paranti karuhun tidak hanya tercrmin dalam tataran religius tapi juga termnifestasikan dalam kehidupan sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam.

Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat ditemukan melalui berbagai aspek kehidupan manusia, salah sataunya tercermin dalam tata cara bersosialisasi masyarakat adat, yaitu "Hiji ucap, dua lampah, tilu tekad". Artinya yaitu: (1) 'ucap' yang berarti perkataan, perkataan seseorang dapat mencerminkan seperti apa orang tersebut, jadi setiap perkataan mendeskripsikan identitas seseorang itu tadi. pada konteks ucapan atau perkataan, masyarakat adat mempunyai aturan atau norma-norma yang bersifat lisan, walaupun tidak tertulis, tapi aturan itu berlaku dan dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. 

Sebagai contoh, masyarakat adat mengenal istilah pamali, yaitu sebuah larangan untuk tidak melakukan sesuatu yang karena sifatnya dapat merugikan. Sebagai sebuah larangan, pamali mempunyai konsekuensi bagi pelanggarnya yaitu kabendon (bencana). Percaya atau tidak, ketika anggota masyarakat adat melakukan sebuah kesalahan atau melanggar aturan adat yang telah ditentukan, maka hal buruk akan terjadi kepada pelanggarnya, baik itu penyakit yang tak kunjung sembuh, usaha yang selalu merugi atau bahkan pada tingkatan paling fatal akan mengakibatkan pelanggarnya mati mendadak. 

Contoh kongkrit larangan atau pamali di masyarakat adat Kasepuhan adalah teu meunang ngajual beas, beas mah nyawa (tidak boleh menjual beras, beras adalah nyawa). Sehingga hasil panen padi selama satu tahun hanya akan dikonsumsi sendiri dan sisanya disimpan di Leuit sebagai cadangan pangan untuk dua sampai tiga tahun kedepan. Analogi beras disejajarkan dengan nyawa, artinya padi atau beras mempunyai kedudukan begitu luhur dalam pandangan masyarakat adat Kasepuhan. 

Masyrakat Kasepuhan percaya bahwa padi merupakan jelmaan dari Nyai Sri (Nyai Pohaci) atau Dewi Padi. Sebagai jelmaan sosok seorang Dewi, padi begitu diistimewakan, maka dari itu ada ritual Ngamumule Pare atau merawat dan memanjakan padi. Ngamumule pare dilakukan selama siklus musim panen, yang setiap proses dalam menanam padi selalu disertai dengan berbagai ritual, mulai dari nibakeun sri ka bumi (proses awal menanam benih padi), tebar (proses menebarkan benih padi), tandur (menanam padi di sawah), salamet pare nyiram (syukuran saat padi mulai akan berbuah), mipit (ritual tanda akan dimulainya proses memanen padi), dibuat (proses panen padi tradisional dengan Etem), Mocong (proses membersihkan dan merapikan padi), Ngunjal yaitu membawa padi dari lantaian (penjemuran) menuju lumbung atau leuit, Ngadiukeun (ritual memasukan padi hasil panen ke dalam lumbung padi) atau juga istilah lainnya ngamitkeun sri ti bumi (ritual merapikan atau memasukan padi yang tadinya di tebar di sawah “bumi” ke dalam leuit), nganyaran (ritual pertama kali memasak pare anyar atau padi baru yang selesai dipanen) Seren taun (ritual puncak ‘syukuran’ sebagai penutup dan awal akan dimulainya proses menanam padi kembali). (2), 'lampah' atau perbuatan, sejatinya antara apa yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang dilakukan, perbuatan juga mendeskripsikan pribadi seseorang. Bagi masyarakat adat, setiap tindakan yang akan dilakukan harus sesuai dengan ketentuan adat. 

Bentuk-bentuk karifan lokal tercermin dalam tindakan berupa ritual-ritual warisan nenek moyang yang hingga kini masih tetap dilestarikan. Ritual yang dilakukan tidak hanya bersifat seremonial semata, namun juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan identitas masyarakat adat yang hidup tertata sesuai aturan adat.

Salah satu fiosofi masyarakat adat yang mengatur konsep bagaimana seharusnya bersikap tertuang dalam pepatah atau wasiat para karuhun (leluhur) “nyucrug galur mapay wahangan nete taraje nincak hambalan,” yang artinya dalam kehidupan sehari-hari kita harus jujur mengikuti apa yang telah digariskan, tidak boleh menentang apa yang bukan haknya. (3) tekad yaitu berkaitan dengan keteguhan dan keyakinan masyarakat adat dalam melestarikan apa yang menjadi keyakinannya. Tekad ini tercermin dalam kuatnya aturan-aturan adat atau kebiasaan masyarakat adat yang masih terjaga yang bahkan tidak lekang oleh waktu, walaupun zaman sudah berganti. Masyarakat Kasepuhan bersifat adaptif bukan primitif, sehingga teknologi atau inovasi modern sangat diterima, meskipun beberapa penggunaan teknologi masih belum diizinkan atau istilahnya can nepi ka zaman artinya belum waktunya.

Masyarakat Kasepuhan menganut filosofi 'hirup kudu ngigeulan zaman' atau dalam istilah lain 'ngindung ka waktu, ngabapak ka zaman', filosofi itu mencerminkan bahwa, masyarakat Kasepuhan begitu terbuka mengenai perubahan zaman, mereka menyadari bahwa dunia terus berputar dan zaman pun ikut berganti, sehingga diperlukan adanya penyesuaian agar terjadi keseimbangan antara aturan adat dan kondisi zaman saat ini. Kendati demikian, dengan adanya keterbukaan itu maka tidak secara otomatis menghilangkan tradisi lama dan menggantinya dengan cara baru, ada pakem atau patokan yang tetap dijaga, sehingga keaslian atau hakekat dari tradisi tersebut tidak mengalami perubahan. Penyesuaian terhadap kemajuan zaman terlihat dalam berbagai aspek, dalam teknologi pertanian misalanya, dahulu masyarakat Kasepuhan menggunakan kerbau untuk membantu membajak sawah, namun sekarang sudah menggunakan traktor yang dirasa lebih cepat dan efesien dari segi waktu dalam membajak sawah. Meski demikian tidak semua Kasepuhan melakukan hal yang sama, terdapat beberapa Kasepuhan yang masih menahan diri dari penggunaan teknologi tersebut dengan alasan can nepi ka wanci, can datang ka jaman (belum saatnya). 

Pada dasarnya masyarakat Kasepuhan hampir sama dengan masyarakat modern, hanya saja mereka memadukan sikap taat pada aturan adat namun juga tetap menyambut baik modernisasi selama tidak bertentangan dengan aturan adat. Dari ketiga aturan adat (ucap, lampah, dan tekad) semuanya merunut pada bagaimana pola masyarakat hidup dengan tetap mempertahankan nilai-nilai warisan leluhur di tengah-tengah kehidupan yang modern. Disisi lain ucap, lampah dan tekad juga merupakan konsep hidup yang begitu luhur, yaitu konsep hidup yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah keselarasan, keseimbangan dan kedewasaan dalam bertindak dalam menyikapi setiap persoalan. Aturan adat bersifat mengikat sehingga pengikutnya dituntut untuk taat dan patuh guna terciptanya kehidupan yang sesuai tatali paranti karuhun.

Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul tersebar di wilayah Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi. Jumlah Kasepuhan terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Cibeber Kab.Lebak, yaitu Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek. Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Ciherang. Sedangkan Kasepuahan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih berada di Kecamatan Sobang-Lebak serta Kasepuahn Karang yang terletak di Kecamatan Muncang-Lebak. Terdapat juga kasepuhan yang berada di kabupaten Sukabumi, yakni kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Sirna resmi dan Kasepuhan Cipta Mulya.

Kasepuhan juga terbagi menjadi Kasepuhan induk, yaitu Kasepuhan besar dan ada juga Kasepuhan kecil atau Kaolotan yang tersebar di berbagai wilayah. Wilayah Kasepuahan berada di sekitar lahan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan kondisi wilayah pegunungan dan perbukitan. Wilayah yang berbukit-bukit mempengaruhi sistem pemukiman dan pertanian yang semuanya sangat tergantung dengan alam. Masyarakat Kasepuhan mengandalkan sistem pertanian lahan kering yaitu huma dan juga pertanian lahan basah atau sawah.

Post a Comment for "MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN BANTEN KIDUL"