MATERI PEDAGOGI TES PPPK (TEORI BELAJAR)

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET


Terdapat empat tahap perkembangan kognitif piaget, yaitu:

1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)

   Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi lahir hingga umur 2 tahun. Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Pada tahap ini, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain lain. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah. Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam tahap ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat drianya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensorimotor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai bentuk interaksi dengan lingkungan.

2. Tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun)

   Saudara mahasiswa, tahap praoperasional merupakan tahap ke dua dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Ciri-ciri lain anak praoperasional adalah 1) berfikirnya bersifat irrevesibel, 2) bersifat egosentris dalam bahasa komunikasi, artinya dalam bermain bersama anak-anak cenderuung saling bicara tanpa mengharapkan saling mendengar atau saling menjawab, dan 3) lebih memfokuskan diri pada aspek statis tentang suatu peristiwa daripada transformasi dari satu keadaan kepada keadaan lain (Hergenhahn & Olson, 2001). Pada usia ini anak cenderung berfokus pada satu aspek situasi dengan mengesampingkan aspek lainnya, proses ini disebut dengan pemusatan (centering) (Hill, 2009). Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu pralogis dan intuitif. 

    Pralogis (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek. Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. 

3. Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)

   Saudara mahasiswa, tahap ini merupakan tingkat permulaan anak berpikir rasional. Pada usia ini anak sudah masuk persekolahan di tingkat Sekolah Dasar. Maksudnya, anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bilamana mereka menghadapi seuatu pertentangan antar pikiran dan persepsi, maka anak akan lebih memilih pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak praoprasional (Nurjan, 2016).

   Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Selama tahap ini bahasa juga berubah. Anak-anak menjadi kurang egosentris dan lebih sosiosentris dalam berkomunikasi (Dahar, 2006). Mereka berusaha untuk mengerti orang lain dan mengemukakan perasaan dan gagasan-gagasan mereka pada orang dewasa dan teman-teman. Proses berpikir pun menjadi kurang egosentris dan mereka sekarang dapat menerima orang lain.

4. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)

   Saudara mahasiswa, ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal (Ibda, 2015). Beberapa karakteristik berpikir operasional formal (Nurjan, 2016) yaitu: 1) berpikir adolesensi ialah berpikir hipotetis-dedukatif. Ia dapat merumuskan banyak alternatif hipotesis dalam menanggapi masalah, dan mengecek data terhadap setiap hipotesis untuk mendapat keputusan layak. Tetapi ia belum mempunyai kemampuan untuk menerima atau menolak hipotesis. 2) tahap ini ditandai dengan berpikir proposisional, yaitu kemampuan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan konkret dan pertanyaan yang berlawanan dengan fakta. 3) berpikir kombinatorial, yaitu berpikir meliputi semua kombinasi benda-benda, gagasan atau proposis-proposisi yang mungkin. 4) berpikir refleksif, artinya anak mampu berfikir kembali pada satu seri operasioal mental.

   Semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat operasional konkrit, sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun urutan perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat berikutnya (Wilis, 2011).

BELAJAR MENURUT THORNDIKE


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Selain stimulus dan respon, terdapat faktor lain yang menjadi pengaruh dalam toeri Thorndike yaitu penguatan yang dapat memperkuat timbulnya respon. Penguatan ini berupa penguatan positif dan pengatan negatif.

Hukum Belajar Menurut Thorndike (Gredler & Margaret, 2009):
1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness): Jika seseorang siap melakukan sesuatu, ketika ia melakukannya maka ia puas. Sebaliknya, bila ia tidak jadi melakukannya, maka ia tidak puas. Contohnya, peserta didik yang siap untuk ujian, ketika dilakukan ujian, maka ia akan puas, tetapi apabila ujiannya ditunda, maka ia tidak puas. 
2. Hukum Latihan (Law of Excercise): Jika respon terhadap stimulus diulang-ulang, maka akan memperkuat hubungan antara respons dengan stimulus. Sebaliknya jika respons tidak digunakan, hubunga dengan stimulus akan semakin lemah. Contohya, peserta didik yang belajar bahasa inggris, semakin sering digunakan bahasa inggrisnya maka akan semakin terampil dalam berbahasa inggris. Tetapi jika tidak digunakan maka ia tidak akan terampil dalam berbahasa inggris. 
3. Hukum Akibat (Law of Effect): Bila hubungan antara respon dan stimulus menimbulkan kepuasan maka tingkatan penguatannya semakin besar. Sebaliknya bila hubungan respons dan stimulus menimbulkan ketidakpuasan maka tingkat penguatan semakin lemah. Dengan kata lain, apabila stimulus diberikan diikuti oleh respon dan juga diikuti oleh pemuas maka koneksi stimulus-respon akan menguat. Namun, jika diikuti oleh pengganggu maka koneksi tersebut akan melemah. Contohnya, peserta didik yang mendapatkan nilai tinggi akan menyukai pelajaran tersebut, sebaliknya peserta didik yang mendapat nilai rendah akan membenci mata pelajaran tersebut.

Menurut Thorndike belajar merupakan proses interaksi antar stimulus dan respon, akan tetapi stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan aturaan yang diramalkan dan dikendalilkan.

BELAJAR MENURUT JOHN BROADES WATSON


Toeri yang dikembangkan oleh Watson ialah Conditioning. Toeri ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme. Teori conditioning berkesimpulan bahwa perilaku inidividu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan (perangsang) yang berupa pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Watson juga percaya bahwa kepribadian seseorang manusia yang terbentuk melalui berbagai macam condotioning dan berbagai macam refleks. Hill (2009) menyatakan tentang penjelasan Watson lainnya mengenai pembelajaran ini bersandar pada dua prinsip: frekuensi (frequency) dan resensi (recency). Prinsip frekuensi menyatakan bahwa semakin sering kita melakukan suatu respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi. Begitu pula prinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi.

Post a Comment for "MATERI PEDAGOGI TES PPPK (TEORI BELAJAR)"