MALEM LILIKURAN
Malem lilikuran diidentikan dengan malam 21, 23, 25, 27, 29 bulan Ramadhan yang ditengarai sebagai malam dimana Lailatul Qadar akan turun ke bumi. Itulah malam mulia yang secara metafisis diyakini, berdasarkan kabar Kitab Suci, kualitasnya melampaui seribu bulan: Khairun min alfi syahrin.
Dalam tradisi Sunda, ada banyak kata yang menunjuk waktu malam. Sebut saja sareureuh budak, (kira-kira pukul 21.00), sareureuh kolot (kira-kira pukul 21.30), peuting (kira-kira pukul 23.00), tengah peuting (kira-kira pukul 00.00), wanci tumorek (kira-kira pukul 24.30), janari leutik (kira-kira pukul 01.30), janari gede (kira-kira pukul 02.30), tisada rorongkeng atau kongkolongok hayam (kira-kira pukul 02.30), haliwawar (kira-kira pukul 03.00), janari (kira-kira pukul 04.00).
melengkapi kekayaan khasanah waktu malam, maka tersebutlah malem salikur itu keberadaannya khusus pada bulan puasa.
Di malam lilikuran, masyarakat Sunda Muslim biasa melakukan ritus kultural religius yang diyakini bukan hanya akan memaksimalkan ibadah puasa, namun juga dapat menjaring Lailatul Qadar.
Di malam itu, biasanya masjid-masjid menjadi penuh. tadarus dan i'tikaf dilakukan dengan khusyuk. Disamping itu, tidak sedikit juga yang pergi ke mesjidnya lengkap dengan membawa kopi dan rokok untuk dihisap dan diminum di sela-sela tadarus dan i'tikaf sambil ngobrol membincang berbagai hal.
Itulah beberapa cara masyarakat kita 'memburu" Lailatul Qadar" dengan cara melek di malam lilikuran. malam seribu bulan itu harus dicari dan tidak akan datang bagi mereka yang hanya berpangku tangan berdiam diri.
Dalam sebuah kesempatan nabi mengatakan, "aku telah bermimpi melihat Lailatul Qadar, tetapi aku terlupa waktunya." Ungkapan "lupa" lebih mengarah pada teks batiniah ketimbang harfiah, sebab tidak mungkin sampai Nabi lupa atas peristiwa besar. Melalui kata "lupa" Nabi sebenarnya ingin memberikan pembelajarn akan keniscayaan kita terus dan terus mencari Lailatul Qadar. Tidak seperti kerumunan manusia dalam novel "The Trial" kafka yang hanya menunggu datangnya kesempatan dan tibanya kebaikan.
Bisa dibayangkan, seandainya Lailatul Qadar ditentukan hari, tanggal dan jamnya, dapat dipastikan umat Nabi hanya akan memacu meningkatkan grafik pengabdian sebatas hari H-nya saja itu.
jadi, itulah sebab mengapa pada tradisi kultural Religi di Sunda terdapat istilah Malem Lilikuran.
apakah kawan-kawan pernah melakukannya? atau ada istilah lain di daerah yang lain selain Sunda? silahkan berkomentar yah kawan-kawan..terimakasih. semoga bermanfaat...
salam literasi, Salam lestari, Wisnu Wirandi...
Baca Juga:
Inih tulisan keren
ReplyDeletehehehe terimakasih @Cakwo...
ReplyDelete