PUASA DAN "TIRAKAT" SUNDA


Puasa berasal dari bahasa sansakerta yang kemudian menjadi bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Orang Sunda menyebutnya juga dengan saum. Saum  itu sendiri adalah kata benda bahasa Arab sebagai bentuk tunggal dari shiyam.'

Asal usul kata ini minimal menjadi satu matarantai yang menjelaskan bagaimana Sunda melakukan akulturasi secara terbuka dengan budaya lain. Perkawinan seperti ini jauh lebih humanis ketimbang pertemuan yang dilakukan dengan motif-motif politik. yang terakhir sering berujung pada apa yang dinamakan Gramsci dalam Cultural Studies sebagai hegemoni: budaya yang lebih kuat cenderung memaksakan kehendak untuk menjadi imam dan yang lemah menjadi subkultur.

Akulturasi budaya yang tidak saling menafikan inilah yang dikemudian hari dirumuskan oleh Haji Hasan Mustapa dalam sejumlah dangding-nya. Dangding-nya ini menjadi landasan keberagaman yang berangkat dari itikad untuk membebaskan agama (islam) dari puritanisme dan pada saat yang sama, kearifan lokal tetap terjaga tanpa menghilangkan identitas islamnya. Dari kerangka berfikir ini, menjadi sangat dimungkinkan bukan hanya terjadi dialog antarbudaya, melainkan juga dialog antar iman. Itulah dialog yang sebermula tentu tidak diniatkan untuk saling menafikan budaya dan mendangkalkan iman, tapi malah akan menciptakan budaya baru yang menggetarkan sekaligus menjadi "rohangan" bagi pengayaan pengalaman religius. Tujuannya adalah untuk mengimani bahwa kebenaran itu banyak dan menyebar.

Puasa di samping sebagai laku tapabrata membangun komunikasi intens dengan Yang Mahakuasa, seperti banyak ditulis dalam naskah Sunda yang diistilahkan dengan tirakat, juga merupakan jalan (tarekat) Sunda untuk bergabung dengan lautan kearifan yang bersifat Universal.

Sejarah puasa mengajaran bagaimana puasa diyakini setiap agama dan kepercayaan sebagai langkah menciptakan ruang jiwa yang bening. Ruang jiwa seperti ini adalah prasyarat mutlak membangun kemanusiaan yang sehat. Siliwangi, Mundinglayadikusumah, Purbasari Ayu Wangi, Kian Santang, dan Sangkuriang adalah beberapa contoh manusia Sunda yang terkenal sebagai ahli tirakat, sebagai para pelaku puasa, sehingga pada masanya Ki Sunda benar-benar mendapat komara (Wibawa).

Dari sini kita tahu bahwa para Nabi juga rajin berpuasa. Muhammad SAW, Nabi Musa, Nabi Daud dan yang lainnya rajin berpuasa. Puasa mereka kemudian menjadi daya yang memompa mereka untuk tidak pernah lelah menyuarakan keadlian. Puasa menjadi energi ruhaniah sehingga mereka tak pernah berhenti menawarkan hidup santun sekaligus tahan terhadap berbagai cobaan dan pesona hedonistik yang ditawarkan musuh-musuhnya. 

Puasa yang mereka lakoni benar-benar memiliki dampak dalam kehidupan sosial. Puasa menjadi prisai dari tindakan angkara. Di samping itu, puasa juga menjadi alat untuk menanamkan kesadaran mistikal seperi dengan bagus digambarkan dalam sinom wawarian berikut ini:

Kasorang bulan puasa

salatri seja babakti

puasa hayang keur buka

ngabakti ngarah pamuji

Ti gusti beunang ati

beunang napsuna ngajungjung

beunang ciciptan sangka

anu meunang sangka deui

kalah beak puasa katalangsara.

Post a Comment for " PUASA DAN "TIRAKAT" SUNDA"