KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN ‘Sakral Menuju Profan’
KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN
‘Sakral Menuju Profan’
Seni pertunjukan dan ritual merupakan
bagian dari ranah kebudayaan. Seni pertunjukan diwujudkan dalam bentuk
simbol-simbol sebagai media ekspresi seniman. Karya seni dipertunjukan dalam ruang
waktu yang terbatas. Ritual sebagai wujud ekspresi sistem keyakinan masyarakat
yang memiliki makna dan nilai yang bersifat sakral. Fenomena seni tradisi di
masyarakat memiliki fungsi-fungsi yang beragam, selain sebagai hiburan (seni
profan) tapi juga banyak yang di fungsikan sebagai ungkapan ekspresi atas
kepercayaan yang dimilikinya. Namun ada juga kesenian profan yang lahir dari hasil
ekspresi kreatifitas seniman berdasarkan pengalaman spiritual mereka atas
kesenian sakral. Maka dalam hal ini seperti pada kesenian Gondang di Kasepuhan
Cibadak, Kampung Cibadak, Desa Warungbanten Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak
Provinsi Banten.
Kampung Cibadak merupakan kampung yang
pertama kali dibuka dan dijadikan pemukiman oleh warga Desa Warungbanten. Hal ini sejalan
dengan proses perpindahan masyarakat adat Kaolotan Cibadak yang berasal dari
turunan Sajra, dan telah berpindah sebanyak 12 kali akhirnya memutuskan untuk
menetap di Kampung Cibadak, Desa Warungbanten. Hingga
kini Kampung Cibadak masih memegang teguh nilai-nilai yang diajarkan secara
turun temurun dari leluhurnya serta masih tetap menjalankan berbagai kegiatan
tradisi mereka, terutama aktifitas yang berkaitan dengan bercocok tanam padi.
Aktifitas bercocok tanam (padi) pada masyarakat adat Kasepuhan Cibadak
merupakan kegiatan sakral yang harus dilakukan secara tertib dan teratur.
Ketabuan-ketabuan dalam setiap aktifitas tersebut merupakan manifestasi dari
ungkapan rasa syukur terhadap sang pencipta, yang harus dilakukan secara sakral
dan penuh hidmat. Hal tersebut tergambar dari salah satu tradisi Gegenek atau
nutu yang ada di Kasepuhan Cibadak. Lahirnya kesenian gondang,
terkait erat dengan tradisi Gegenek atau nutu, yaitu proses
pengolahan padi menjadi beras dengan cara ditutu (ditumbuk) menggunakan halu
(alu) dan lisung (lesung).
Tradisi nutu ini merupakan
aktivitas yang umum dilakukan oleh semua petani Sunda di pedesaan, sebelum
masuknya teknologi mesin penggiling padi. Kegiatan nutu paré merupakan
kegiatan menumbuk paré anyar, yaitu padi yang baru dipanen. Kegiatan ini
melibatkan hampir semua ibu-ibu yang di kasepuhan Cibadak.
Di beberapa daerah lain di wilayah Kabupaten
Lebak khususnya Lebak bagian selatan, ada sebutan lain untuk tradisi nutu ini,
yaitu ngarempug nutu. Disebut ngarempug dikarenakan kegiatan
menumbuk lesung dengan menggunakan halu secara rampak (besama-sama)
namun dengan pola ritmik yang berbeda, dilakukan oleh sekitar 6 orang perempuan
(ibu-ibu) dipimpin oleh seorang perempuan tua (biasanya adalah istri punduh
atau tua adat). Ada beberapa istilah sapaan untuk menyebut perempuan pemimpin
upacara ini, ada yang menyebutnya Ambu, ada juga yang menyebutnya Ema.
Kedua sebutan ini menunjukkan bahwa orang yang memimpin upacara ini dipandang
sebagai orang yang terhormat di mata adat.
Adapun peralatan yang digunakan adalah halu
(alu) dan lisung (lesung). Pada waktu yang telah ditentukan, tampak
ibu-ibu sibuk menyiapkan alat-alat perlengkapan upacara, di antaranya sesajen
yang terdiri atas: kelapa muda (dawegan), rujak manis, telur,
buah-buahan, bubur, dan tujuh macam bunga. Sesajen itu diletakkan pada tempat
yang telah disediakan, kecuali rujak dan telur yang disimpan di badan lesung (sarukna).
Ritual nutu dilakukan di dalam sebuah pondok yang disebut saung
lisung, yang letaknya tidak jauh dari leuit (lumbung padi), dengan
maksud agar tidak menyulitkan ketika padi yang akan ditumbuk diangkut dari leuit
(tempat penyimpanan padi) ke saung lisung tempat berlangsungnya upacara.
Bentuk halu dan lisung merupakan representasi
dari lingga dan yoni. Lingga berarti jantan (pria) dan Yoni
berarti betina (perempuan). Dalam arti lain hal ini merupakan sifat dari
kesuburan. Lambang kesuburan dalam mitologi Sunda dikenal dengan hadirnya sosok
Dewi Sri, atau Nyi Pohaci. Maka, sakralitas masyarakat dalam aktifitas
nutu merupakan penghormatan kepada Dewi Sri tersebut. Kegiatan nutu
yang dilakukan ibu-ibu dikenal pula dengan sebutan tutunggulan. Disebut
tutunggulan karena kegiatan menumbukkan halu ke dalam lisung
menimbulkan suara yang berirama.
Selama berlangsungnya upacara tutunggulan
yang sakral, ada aturan yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh peserta, yaitu
mereka tidak boleh bersenda gurau. Suasananya harus khidmat. Selesai ritual nutu
yang khidmat, dilanjutkan dengan ngotrek, yaitu suatu hiburan tutunggulan
yang digarap oleh para gadis petani, seakan-akan memperlihatkan kepandaian
mereka dalam hal menumbuk padi sambil menyanyi dan menari. Bunyi tutunggulan
yang dihasilkan oleh ketukan halu pada lisung menghasilkan ritmik
indah menyemangati ibu-ibu yang sedang menumbuk sambil bercengkrama satu sama
lain. Cerita, canda, tawa, dan bunyi halu pada lisung menghidupkan suasana pagi
di saung lisung. Bunyi alami dari ketukan per ketukan halu menghasilkan
irama yang khas. Ditambah lagi alunan kidung serta tabuhan angklung dan
dog-dog lojor, membuat tutunggulan ini menjadi semakin menarik. Di
sinilah letak keindahan dari tutunggulan, sehingga tutunggulan
digolongkan sebagai sebuah bentuk kesenian. Seperti disebutkan pada penggalan
syair kesenian Ngagondang tentang tutunggulan berikut ini.
Tingtung-tingtung tutunggulan (Tingtung Tingtung tutunggulan)
Ngagondang parali buhun (Ngagongang kesukaan tetua)
Warisan ti nini aki (warisan dari nenek dan kakek)
Tutungkusan wasiat kolot baheula (peninggalan wasiat dari orang tua jaman
dahulu)
Warisan ti Nini Aki (warisan dari nenek dan kakek)
Wasiat kolot Baheula (warisan dari nenek dan kakek)
…………………………………………….
Dilisung urang
kentrungan (dilisung mari kita bunyikan suara kentrung)
Dari bentuk kesenian tutunggulan
lah kemudian hadirlah kesenian Gondang. Kesenian gondang yang sekarang ini
dikenal oleh masyarakat Sunda, khususnya di daerah pedesaan, merupakan
pengembangan kreatifitas dari seni tutunggulan yang awalnya dari tradisi
gegenek atau nutu yang bersifat sakral. Bedanya, kalau seni
tutunggulan tidak dibarengi dengan kakawihan (nyanyian), sedangkan
pada seni gondang sudah dibubuhi dengan kakawihan (nyanyian). Dengan
kata lain, kalau tutunggulan merupakan musik instrumental maka pada
kesenian gondang sudah merupakan gabungan antara seni musik (karawitan) dengan
seni vokal. Perbedaan lainnya, kalau tutunggulan hanya dipentaskan oleh kaum
perempuan saja maka pada seni gondang terdapat juga pemain laki-laki yang
berpasang-pasangan dengan perempuan. Dalam sudut pandang seni pertunjukan,
kesenian gondang merupakan kesenian drama tari tradisional, atau bahkan mungkin
dapat dikategorikan sebagai jenis kesnian drama musikal. Saya berani mengatakan
demikian dikarenakan kesenian gondang memiliki beberapa unsur seni, yakni
musik, tari dan drama. Unsur musik sangat terlihat jelas dari ritme yang
dihasilkan dari pukulan halu terhadap lisung. Unsur tari,
terlihat dari gerakan-gerakan para pemain pria dan wanita saat pertunjukan
serta unsur drama terlihat dari syair yang terdapat pada kakawihan gondang
seolah bercerita.
Terdapat kisah lain yang
menyebutkan, lahirnya kesenian gondang dari tradisi nyawang bulan opat
welasna (melihat bulan purnama). Tradisi Nyawang Bulan
merupakan acara untuk memperingati munculnya bulan purnama, sebagai bentuk
syukur masih dipertemukan pada bulan purnama, yang diyakini sebagai penyeimbang
bumi. Nyawang Bulan selalu digelar di area terbuka, seperti di hutan
lindung maupun di alam bebas lainnya, dengan menampilkan berbagai kesenian
sunda dan seni budaya lainnya, dengan balutan penyatuan antara alam dengan
manusia sebagai syukur atas yang telah diberikan sang Pencipta.
Pada feomena bulan purnama, suasana
malam yang diterangi cahaya bulan sangat cocok untuk para laki-laki dan
perempuan kaum muda untuk bersenda gurau. Maka pada kisah lain disebutkan,
hadirnya kesenian gondang atas dasar salah satunya juga dari tradisi nyawang
bulan tersebut. Tidak heran jika pada naskah gondang yang dikreasikan
olehpara seniman, kerap kali menceritakan kisah pencarian jodoh antara
laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan konsep kesuburan dari mitologi dewi sri
dan semiotika lingga yoni di atas.
Alat utama kesenian gondang untuk
sebuah pertunjukan adalah:
1) Halu (alu) yaitu alat untuk menumbuk
padi terbuat dari kayu berbentuk bulat memanjang berdiameter ± 5 sentimeter
dengan panjang sekitar 2 meter.
2) Lisung (lesung), yaitu wadah padi
ketika sedang ditumbuk dengan alu. Lesung terbuat dari bambu, berbentuk perahu,
panjang sekitar 2 meter dan lebar ± 0,5 meter. Di kedua ujung lesung terdapat
dua lubang. Pertama yaitu lubang bentuk memanjang yang berfungsi untuk menumbuk
padi yang masih berupa pocongan.
Lubang kedua berbentuk bulat yang berfungsi untuk membersihkan padi dari
kulitnya.
3) Nyiru
(tampah), terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat dengan diameter ± 1,5-2 meter.
Dalam perkembangannya
kemudian peralatan kesenian gondang ditambah dengan kecapi, suling, gendang,
dan gong. Jenis gondang yang telah berkembang ini disebut dengan seni gondang wanda
anyar, atau seni gondang kreasi baru.
Seni gondang wanda
anyar ini banyak versi yang membuatnya, tergantung pada kreatifitas si seniman
pembuatnya. Kebanyakan versi yang sekarang berkembang, lagu yang dinyanyikan menggunakan
tangga nada pentatonic laras pelog. Berbeda dengan versi buhun
(lama/tua), lagu yang dinyanyikan menggunakan tangga nada pentatonic laras
salendro. Tidak sedikit juga dalam penggunaan Bahasa kerap kali dicampur adukan
dengan Bahasa Indonesia, namun tetap menggunakan lagu kawih sunda laras pelog
tadi.
Seni gondang wanda
anyar di biasanya diperankan oleh 11 orang.
Dengan formasi 5 orang perempuan dan 6 orang laki-laki. Adapun nayaga
(pemain musik pengiring), seperti pemain gendang, gong, suling, dan kecapi
posisinya duduk di belakang. Kostum yang dikenakan oleh para pemain wanita
adalah sinjang atau samping (kain) yang dililitkan dari pinggang
ke bawah sampai di atas mata kaki atau di bawah lutut. Pakaian atasnya
mengenakan baju kebaya, dan sehelai karembong. yang diikatkan pada bagian pinggang. Rambutnya disanggul. Sedangkan pemain pria
mengenakan baju kampret warna hitam dan celana pangsi warna
hitam. Kepalanya memakai iket (ikat kepala). Sebagai sebuah seni
pertunjukan, kesenian gondang biasanya dipertunjukkan di atas panggung di
lapangan terbuka. Lamanya pertunjukan gondang tidak ada ketentuan, tergantung
pada permintaan dari yang empunya hajat, dan kesiapan pelaku seni nya serta
koleksi lagu-lagu dari grup gondang itu sendiri. Biasanya pertunjukan gondang
berlangsung antara 1-2 jam. Dalam sebuah pertunjukan di arena hajatan, tidak
jarang pertunjukan gondang diselingi dengan kesenian-kesenian lain, seperti
tari-tarian, kesenian calung, maupun kesenian Topeng (sejenis kesenian Ubrug).
Pada awal
kemunculannya, gondang yang lahir dari tradisi nutu, hanya ditampilkan pada
upacara-upacara di sekitar aktivitas pertanian yang sifatnya sakral. Namun di
balik kesakralannya itu terdapat sisi lain yang mampu menimbulkan kegembiraan,
keceriaan dan keriangan serta menghibur. Maka Seiring dengan berjalannya waktu,
kesenian gondang mulai beranjak ke arah pemenuhan kebutuhan ekonomis.
Permintaan konsumen yang ingin menampilkan seni ini dalam acara-acara tertentu
mulai dipertimbangkan. Seperti perayaan 17 Agustus, perayaan hari jadi
kabupaten Lebak, dan bahkan pada acara hiburan pernikahan. Oleh pelaku seni
gondang, hal ini justru dianggap sebagai perkembangan.
Pada masa ini
kesenian gondang eksis sebagai sebuah seni pertunjukan kontemporer yang
berangkat dari seni tradisi, dikolaborasikan dengan unsur-unsur baru, baik
dalam hal peralatan musiknya (waditra), seni vokal, jenis-jenis kakawihan
(lagu-lagunya), kostum pemain, maupun pola pertunjukannya. Dalam situasi ini,
kesenian gondang tidak lagi dipandang sebagai kesenian yang sakral. Dalam hal
ini telah terjadi sekularisasi kesenian gondang dari seni tradisi yang sakral
menjadi seni yang profan, di mana unsur-unsur hiburan lebih ditonjolkan
ketimbang kesakralannya yang nyaris punah.
Situasi lain muncul
ketika jenis-jenis kesenian modern mulai merasuki masyarakat pedesaan.
Keberadaan kesenian tradisional dewasa ini tidak lepas dari pengaruh
globalisasi yang tengah melanda dunia. Jika kesenian tradisional bersifat
statis, dan selalu memproteksi diri dari perkembangan zaman, niscaya akan
tergerus, tersisihkan, dan pada akhirnya punah. Kalaupun tetap bertahan maka
keberadaannya tidak lebih dari sekadar warisan yang tak bermakna, ada tetapi
tidak eksis. Apa lagi tidak ada generasi penerus sebagai pemegang tongkat
pewarisnya. Saat pelaku seninya sudah tiada, maka keseniannya pun akan hilang
tanpa jejak.
Kondisi seperti
inilah yang kini tengah dihadapi oleh kesenian gondang. Kini kesenian gondang
sudah sangat jarang ditampilkan dan dipertunjukkan, baik pada acara-acara
hajatan, selamatan, ataupun memperingati hari-hari besar nasional. Kini orang
yang akan melaksanakan hajatan lebih memilih menanggap pertunjukan dangdut,
ataupun orgen tunggal, ketimbang kesenian tradisional seperti seni gondang.
Dengan kata lain, keberadaan kesenian gondang dewasa ini tengah mengalami
degradasi, hidup enggan, mati pun tak mau.
Post a Comment for "KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN ‘Sakral Menuju Profan’"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi