KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN ‘Sakral Menuju Profan’

KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN 

‘Sakral Menuju Profan’

(Gambar ilustrasi By: Wisnu Wirandi)

Seni pertunjukan dan ritual merupakan bagian dari ranah kebudayaan. Seni pertunjukan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol sebagai media ekspresi seniman. Karya seni dipertunjukan dalam ruang waktu yang terbatas. Ritual sebagai wujud ekspresi sistem keyakinan masyarakat yang memiliki makna dan nilai yang bersifat sakral. Fenomena seni tradisi di masyarakat memiliki fungsi-fungsi yang beragam, selain sebagai hiburan (seni profan) tapi juga banyak yang di fungsikan sebagai ungkapan ekspresi atas kepercayaan yang dimilikinya. Namun ada juga kesenian profan yang lahir dari hasil ekspresi kreatifitas seniman berdasarkan pengalaman spiritual mereka atas kesenian sakral. Maka dalam hal ini seperti pada kesenian Gondang di Kasepuhan Cibadak, Kampung Cibadak, Desa Warungbanten Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Kampung Cibadak merupakan kampung yang pertama kali dibuka dan dijadikan pemukiman oleh warga Desa Warungbanten. Hal ini sejalan dengan proses perpindahan masyarakat adat Kaolotan Cibadak yang berasal dari turunan Sajra, dan telah berpindah sebanyak 12 kali akhirnya memutuskan untuk menetap di Kampung Cibadak, Desa Warungbanten. Hingga kini Kampung Cibadak masih memegang teguh nilai-nilai yang diajarkan secara turun temurun dari leluhurnya serta masih tetap menjalankan berbagai kegiatan tradisi mereka, terutama aktifitas yang berkaitan dengan bercocok tanam padi. Aktifitas bercocok tanam (padi) pada masyarakat adat Kasepuhan Cibadak merupakan kegiatan sakral yang harus dilakukan secara tertib dan teratur. Ketabuan-ketabuan dalam setiap aktifitas tersebut merupakan manifestasi dari ungkapan rasa syukur terhadap sang pencipta, yang harus dilakukan secara sakral dan penuh hidmat. Hal tersebut tergambar dari salah satu tradisi Gegenek atau nutu yang ada di Kasepuhan Cibadak. Lahirnya kesenian gondang, terkait erat dengan tradisi Gegenek atau nutu, yaitu proses pengolahan padi menjadi beras dengan cara ditutu (ditumbuk) menggunakan halu (alu) dan lisung (lesung).

Tradisi nutu ini merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh semua petani Sunda di pedesaan, sebelum masuknya teknologi mesin penggiling padi. Kegiatan nutu paré merupakan kegiatan menumbuk paré anyar, yaitu padi yang baru dipanen. Kegiatan ini melibatkan hampir semua ibu-ibu yang di kasepuhan Cibadak.

Di beberapa daerah lain di wilayah Kabupaten Lebak khususnya Lebak bagian selatan, ada sebutan lain untuk tradisi nutu ini, yaitu ngarempug nutu. Disebut ngarempug dikarenakan kegiatan menumbuk lesung dengan menggunakan halu secara rampak (besama-sama) namun dengan pola ritmik yang berbeda, dilakukan oleh sekitar 6 orang perempuan (ibu-ibu) dipimpin oleh seorang perempuan tua (biasanya adalah istri punduh atau tua adat). Ada beberapa istilah sapaan untuk menyebut perempuan pemimpin upacara ini, ada yang menyebutnya Ambu, ada juga yang menyebutnya Ema. Kedua sebutan ini menunjukkan bahwa orang yang memimpin upacara ini dipandang sebagai orang yang terhormat di mata adat.

 Adapun peralatan yang digunakan adalah halu (alu) dan lisung (lesung). Pada waktu yang telah ditentukan, tampak ibu-ibu sibuk menyiapkan alat-alat perlengkapan upacara, di antaranya sesajen yang terdiri atas: kelapa muda (dawegan), rujak manis, telur, buah-buahan, bubur, dan tujuh macam bunga. Sesajen itu diletakkan pada tempat yang telah disediakan, kecuali rujak dan telur yang disimpan di badan lesung (sarukna). Ritual nutu dilakukan di dalam sebuah pondok yang disebut saung lisung, yang letaknya tidak jauh dari leuit (lumbung padi), dengan maksud agar tidak menyulitkan ketika padi yang akan ditumbuk diangkut dari leuit (tempat penyimpanan padi) ke saung lisung tempat berlangsungnya upacara.

Bentuk halu dan lisung merupakan representasi dari lingga dan yoni. Lingga berarti jantan (pria) dan Yoni berarti betina (perempuan). Dalam arti lain hal ini merupakan sifat dari kesuburan. Lambang kesuburan dalam mitologi Sunda dikenal dengan hadirnya sosok Dewi Sri, atau Nyi Pohaci. Maka, sakralitas masyarakat dalam aktifitas nutu merupakan penghormatan kepada Dewi Sri tersebut. Kegiatan nutu yang dilakukan ibu-ibu dikenal pula dengan sebutan tutunggulan. Disebut tutunggulan karena kegiatan menumbukkan halu ke dalam lisung menimbulkan suara yang berirama.

Selama berlangsungnya upacara tutunggulan yang sakral, ada aturan yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh peserta, yaitu mereka tidak boleh bersenda gurau. Suasananya harus khidmat. Selesai ritual nutu yang khidmat, dilanjutkan dengan ngotrek, yaitu suatu hiburan tutunggulan yang digarap oleh para gadis petani, seakan-akan memperlihatkan kepandaian mereka dalam hal menumbuk padi sambil menyanyi dan menari. Bunyi tutunggulan yang dihasilkan oleh ketukan halu pada lisung menghasilkan ritmik indah menyemangati ibu-ibu yang sedang menumbuk sambil bercengkrama satu sama lain. Cerita, canda, tawa, dan bunyi halu pada lisung menghidupkan suasana pagi di saung lisung. Bunyi alami dari ketukan per ketukan halu menghasilkan irama yang khas. Ditambah lagi alunan kidung serta tabuhan angklung dan dog-dog lojor, membuat tutunggulan ini menjadi semakin menarik. Di sinilah letak keindahan dari tutunggulan, sehingga tutunggulan digolongkan sebagai sebuah bentuk kesenian. Seperti disebutkan pada penggalan syair kesenian Ngagondang tentang tutunggulan berikut ini.

 

                Tingtung-tingtung tutunggulan (Tingtung Tingtung tutunggulan)

            Ngagondang parali buhun (Ngagongang kesukaan tetua)

            Warisan ti nini aki (warisan dari nenek dan kakek)

            Tutungkusan wasiat kolot baheula (peninggalan wasiat dari orang tua jaman dahulu)

            Warisan ti Nini Aki (warisan dari nenek dan kakek)

            Wasiat kolot Baheula (warisan dari nenek dan kakek)

…………………………………………….

Dilisung urang kentrungan (dilisung mari kita bunyikan suara kentrung)

 

 

Dari bentuk kesenian tutunggulan lah kemudian hadirlah kesenian Gondang. Kesenian gondang yang sekarang ini dikenal oleh masyarakat Sunda, khususnya di daerah pedesaan, merupakan pengembangan kreatifitas dari seni tutunggulan yang awalnya dari tradisi gegenek atau nutu yang bersifat sakral. Bedanya, kalau seni tutunggulan tidak dibarengi dengan kakawihan (nyanyian), sedangkan pada seni gondang sudah dibubuhi dengan kakawihan (nyanyian). Dengan kata lain, kalau tutunggulan merupakan musik instrumental maka pada kesenian gondang sudah merupakan gabungan antara seni musik (karawitan) dengan seni vokal. Perbedaan lainnya, kalau tutunggulan hanya dipentaskan oleh kaum perempuan saja maka pada seni gondang terdapat juga pemain laki-laki yang berpasang-pasangan dengan perempuan. Dalam sudut pandang seni pertunjukan, kesenian gondang merupakan kesenian drama tari tradisional, atau bahkan mungkin dapat dikategorikan sebagai jenis kesnian drama musikal. Saya berani mengatakan demikian dikarenakan kesenian gondang memiliki beberapa unsur seni, yakni musik, tari dan drama. Unsur musik sangat terlihat jelas dari ritme yang dihasilkan dari pukulan halu terhadap lisung. Unsur tari, terlihat dari gerakan-gerakan para pemain pria dan wanita saat pertunjukan serta unsur drama terlihat dari syair yang terdapat pada kakawihan gondang seolah bercerita.

Terdapat kisah lain yang menyebutkan, lahirnya kesenian gondang dari tradisi nyawang bulan opat welasna (melihat bulan purnama). Tradisi Nyawang Bulan merupakan acara untuk memperingati munculnya bulan purnama, sebagai bentuk syukur masih dipertemukan pada bulan purnama, yang diyakini sebagai penyeimbang bumi. Nyawang Bulan selalu digelar di area terbuka, seperti di hutan lindung maupun di alam bebas lainnya, dengan menampilkan berbagai kesenian sunda dan seni budaya lainnya, dengan balutan penyatuan antara alam dengan manusia sebagai syukur atas yang telah diberikan sang Pencipta.

Pada feomena bulan purnama, suasana malam yang diterangi cahaya bulan sangat cocok untuk para laki-laki dan perempuan kaum muda untuk bersenda gurau. Maka pada kisah lain disebutkan, hadirnya kesenian gondang atas dasar salah satunya juga dari tradisi nyawang bulan tersebut. Tidak heran jika pada naskah gondang yang dikreasikan olehpara seniman, kerap kali menceritakan kisah pencarian jodoh antara laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan konsep kesuburan dari mitologi dewi sri dan semiotika lingga yoni di atas.

Alat utama kesenian gondang untuk sebuah pertunjukan adalah:

 1) Halu (alu) yaitu alat untuk menumbuk padi terbuat dari kayu berbentuk bulat memanjang berdiameter ± 5 sentimeter dengan panjang sekitar 2 meter.

 2) Lisung (lesung), yaitu wadah padi ketika sedang ditumbuk dengan alu. Lesung terbuat dari bambu, berbentuk perahu, panjang sekitar 2 meter dan lebar ± 0,5 meter. Di kedua ujung lesung terdapat dua lubang. Pertama yaitu lubang bentuk memanjang yang berfungsi untuk menumbuk padi yang masih berupa pocongan. Lubang kedua berbentuk bulat yang berfungsi untuk membersihkan padi dari kulitnya.

3) Nyiru (tampah), terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat dengan  diameter ± 1,5-2 meter.

Dalam perkembangannya kemudian peralatan kesenian gondang ditambah dengan kecapi, suling, gendang, dan gong. Jenis gondang yang telah berkembang ini disebut dengan seni gondang wanda anyar, atau seni gondang kreasi baru.

Seni gondang wanda anyar ini banyak versi yang membuatnya, tergantung pada kreatifitas si seniman pembuatnya. Kebanyakan versi yang sekarang berkembang, lagu yang dinyanyikan menggunakan tangga nada pentatonic laras pelog. Berbeda dengan versi buhun (lama/tua), lagu yang dinyanyikan menggunakan tangga nada pentatonic laras salendro. Tidak sedikit juga dalam penggunaan Bahasa kerap kali dicampur adukan dengan Bahasa Indonesia, namun tetap menggunakan lagu kawih sunda laras pelog tadi. 

Seni gondang wanda anyar di biasanya diperankan oleh 11 orang.  Dengan formasi 5 orang perempuan dan 6 orang laki-laki. Adapun nayaga (pemain musik pengiring), seperti pemain gendang, gong, suling, dan kecapi posisinya duduk di belakang. Kostum yang dikenakan oleh para pemain wanita adalah sinjang atau samping (kain) yang dililitkan dari pinggang ke bawah sampai di atas mata kaki atau di bawah lutut. Pakaian atasnya mengenakan baju kebaya, dan sehelai karembong. yang diikatkan pada bagian pinggang. Rambutnya disanggul. Sedangkan pemain pria mengenakan baju kampret warna hitam dan celana pangsi warna hitam. Kepalanya memakai iket (ikat kepala). Sebagai sebuah seni pertunjukan, kesenian gondang biasanya dipertunjukkan di atas panggung di lapangan terbuka. Lamanya pertunjukan gondang tidak ada ketentuan, tergantung pada permintaan dari yang empunya hajat, dan kesiapan pelaku seni nya serta koleksi lagu-lagu dari grup gondang itu sendiri. Biasanya pertunjukan gondang berlangsung antara 1-2 jam. Dalam sebuah pertunjukan di arena hajatan, tidak jarang pertunjukan gondang diselingi dengan kesenian-kesenian lain, seperti tari-tarian, kesenian calung, maupun kesenian Topeng (sejenis kesenian Ubrug).

Pada awal kemunculannya, gondang yang lahir dari tradisi nutu, hanya ditampilkan pada upacara-upacara di sekitar aktivitas pertanian yang sifatnya sakral. Namun di balik kesakralannya itu terdapat sisi lain yang mampu menimbulkan kegembiraan, keceriaan dan keriangan serta menghibur. Maka Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian gondang mulai beranjak ke arah pemenuhan kebutuhan ekonomis. Permintaan konsumen yang ingin menampilkan seni ini dalam acara-acara tertentu mulai dipertimbangkan. Seperti perayaan 17 Agustus, perayaan hari jadi kabupaten Lebak, dan bahkan pada acara hiburan pernikahan. Oleh pelaku seni gondang, hal ini justru dianggap sebagai perkembangan.

Pada masa ini kesenian gondang eksis sebagai sebuah seni pertunjukan kontemporer yang berangkat dari seni tradisi, dikolaborasikan dengan unsur-unsur baru, baik dalam hal peralatan musiknya (waditra), seni vokal, jenis-jenis kakawihan (lagu-lagunya), kostum pemain, maupun pola pertunjukannya. Dalam situasi ini, kesenian gondang tidak lagi dipandang sebagai kesenian yang sakral. Dalam hal ini telah terjadi sekularisasi kesenian gondang dari seni tradisi yang sakral menjadi seni yang profan, di mana unsur-unsur hiburan lebih ditonjolkan ketimbang kesakralannya yang nyaris punah.

Situasi lain muncul ketika jenis-jenis kesenian modern mulai merasuki masyarakat pedesaan. Keberadaan kesenian tradisional dewasa ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang tengah melanda dunia. Jika kesenian tradisional bersifat statis, dan selalu memproteksi diri dari perkembangan zaman, niscaya akan tergerus, tersisihkan, dan pada akhirnya punah. Kalaupun tetap bertahan maka keberadaannya tidak lebih dari sekadar warisan yang tak bermakna, ada tetapi tidak eksis. Apa lagi tidak ada generasi penerus sebagai pemegang tongkat pewarisnya. Saat pelaku seninya sudah tiada, maka keseniannya pun akan hilang tanpa jejak.

Kondisi seperti inilah yang kini tengah dihadapi oleh kesenian gondang. Kini kesenian gondang sudah sangat jarang ditampilkan dan dipertunjukkan, baik pada acara-acara hajatan, selamatan, ataupun memperingati hari-hari besar nasional. Kini orang yang akan melaksanakan hajatan lebih memilih menanggap pertunjukan dangdut, ataupun orgen tunggal, ketimbang kesenian tradisional seperti seni gondang. Dengan kata lain, keberadaan kesenian gondang dewasa ini tengah mengalami degradasi, hidup enggan, mati pun tak mau.

      Maka, langkah praktis sebagai solusi konkret adalah dengan adanya program revitaslisasi kesenian tradisi, dengan memodifikasi dan merekontruksi kesenian gondang yang sudah ada, melalui sentuhan-sentuhan kreafitas dan unsur kebaruan dibutuhkan dalam prosesnya. Dengan bersifat dinamisnya kesenian tradisi, maka kesenian tersebut tidak lagi menjadi kesenian yang hanya tercatat dalam ensiklopedia kesenian saja, namun juga diharapkan mampu bertahan sesuai perkembangan zaman.

Post a Comment for "KESENIAN GONDANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI KULTURAL MASYARAKAT KASEPUHAN CIBADAK DI KABUPATEN LEBAK-BANTEN ‘Sakral Menuju Profan’"