TRADISI SEREN TAUN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN DI BANTEN SELATAN

Penulis: Wisnu Wirandi

(Penggiat Budaya KEMDIKBUD RI Wilayah Kerja Kab.Lebak)


 

Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul adalah kelompok masyarakat adat Sunda yang mendiami beberapa kawasan di kaki gunung Sanggabuana. Saat ini pemerintah menyebutnya Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Wilayah yang paling banyak dihuni oleh masyarakat adat kasepuhan adalah wilayah kabupaten Lebak sebelah selatan sampai ke kabupaten Sukabumi sebelah barat dan ke bagian utara sampai ke kabupaten Bogor Jawa Barat.

Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, atau disebut juga sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) Banten Kidul telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaan nya pun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat serta konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Atas dasar tersebutlah di Banten bagian selatan khususnya di wilayah kabupaten Lebak dan kabupaten Sukabumi hidup Masyarakat adat yang secara latarbelakang sejarah terbentuknya telah ada sejak abad ke-17 Masehi. Untuk melindungi keberadaan mereka dari gerusan zaman, warga kasepuhan itu memiliki payung hukum berupa peraturan daerah (perda). Di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, payung hukum tersebut tertuang pada Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan, akan melindungi budaya serta wilayah mereka. Wilayah adat diakui sebagai ruang kehidupan masyarakat Kasepuhan. Untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah perda pengakuan masyarakat hukum adat memiliki lampiran tentang wilayah adat.

Setidaknya terdapat 67 komunitas kasepuhan yang mendiami wilayah Gunung Halimun Salak (perbatasan Kab. Lebak Provinsi Banten dengan Kab. Sukabumi Provinsi Jawa Barat). Sedangkan di Kabupaten Lebak sendiri memiliki 57 kasepuhan, yang terdiri dari pupuhun kasepuhan, sesepuh kampung, dan sesepuh rendangan.


Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul memiliki salah satu tradisi yang kini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBTB), yaitu tradisi SEREN TAUN.

Salah satu upacara adat yang ada dan masih dilaksanakan setiap tahunnya di seluruh Kasepuhan Adat Banten Kidul adalah Upacara adat SEREN TAUN yang dilaksanakan setelah panen tiba. Setiap perayaan SEREN TAUN tidak ada perubahan susunan acara kecuali tema perayaannya yang berubah, serta selain tidak menghilangkan budaya adat dari zaman nenek moyang mereka. SEREN TAUN merupakan suatu tradisi tahunan masyarakat agraris sunda sebuah religiositas untuk mengucapkan syukur pada Yang Maha Esa (Pangeran Si Kang Sawiji-Wiji) atas kehidupan ini (Aditya: 2013).

Seren berarti seserahan atau menyerahkan, taun berarti tahun. SEREN TAUN dimaknai warga sebagai upacara penyerahan sedekah (tatali) hasil panen padi selama setahun serta memohon berkah pada Tuhan agar hasil panen tahun mendatang lebih meningkat. Sebagai masyarakat agraris, kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul (Selatan) bergantung dari budidaya padi. Secara turun-temurun mereka menanam padi menggunakan sistem lahan kering atau huma maupun lahan basah atau pesawahan.

Dalam arti lain SEREN TAUN adalah salah satu ritual yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan yang berada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Ritual ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa setelah panen padi dilaksanakan. SEREN TAUN merupakan akhir dan awal kegiatan sosial Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan. Disebut akhir, karena pada ritual SEREN TAUN seluruh masyarakat adat memberikan laporan aktivitasnya selama setahun ke belakang kepada Kasepuhan/Sesepuh/Kokolot/kepala adat; disebut pula sebagai awal, karena pada ritual ini Kepala Adat memberikan wejangan-wejangan dan bekal untuk aktivitas setahun ke depan. Kegiatan itu merupakan salah satu rangkaian upacara dalam rangka syukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala kenikmatan yang telah diberikan selama satu tahun, terutama setelah warga melaksanakan panen hasil pertanian. Jadi SEREN TAUN adalah ungkapan syukur dan doa masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang.

Ritual Adat SEREN TAUN dilaksanakan selama 7 hari 7 malam, bertempat di Imah gede, yaitu tempat kediaman Abah (kepala adat/kasepuhan/kokolot). Selama 7 hari 7 malam tersebut diisi dengan berbagai kegiatan ritual adat. Ritual Adat SEREN TAUN juga merupakan puncak siklus dari tradisi Masyarakat Kasepuhan Banten Selatan dalam proses pengolahan, menanam, memelihara, menyimpan dan menghargai Padi dalam kepercayaan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan, sebagai Dewi Sri / Nyi Sri / Nyi Pohaci.

Terdapat lima kegiatan sebagai ritual SEREN TAUN. Pertama, Nibakeun Sri ka bumi, artinya “menurunkan padi ke tanah”, dipimpin oleh ketua kelompok masing-masing (rendangan) menyiapkan sejumlah padi dalam bentuk ikatan yang di sebut pocong untuk dipersiapkan penempatannya di lumbung kasepuhan yang nantinya akan ditanam di huma dan di Sawah. Kedua, Ngamitkeun Sri ti bumi, dimulai dengan pemberitahuan dari pimpinan kasepuhan, bahwa padi akan segera dikumpulkan dan diperiksa kembali jenis-jenisnya, kegiatan ini adalah kegiatan panen pertanian yang disebut musim dibuat. Ketiga, Salamet rasul pare di leuit, tahap ketiga dari rangkaian ritual dilakukan syukuran padi yang ada di lumbung. Keempat, Serah Taun, merupakan inti dari ritual syukuran panen, istilah Serah Taun ini lebih popular disebut SEREN TAUN, yang artinya menyerahkan hasil panen. Dan kelima, Cacah Jiwa, dilakukan perhitungan jumlah penduduk yang menjadi penyungsung masing-masing Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan.

Dalam SEREN TAUN di Kasepuhan Adat Banten Selatan, terdapat istilah Balik Taun Rendangan, dalam peristiwa ini, ketua adat Kasepuhan, menerima para sesepuh di Kasepuhan lain yang disebut Rendangan atau Kokolot Lembur yang menuakan salah satu kasepuhan. Misalnya, kasepuhan Cicarucub yang memiliki rendangan dari kasepuhan Ciherang. Maka, pihak kokolot lembur dari Ciherang wajib melakukan Balik Taun ke Kasepuhan Cicarucub.

Terjadinya hal demikian, merupakan sebuah perjalanan sejarah panjang hingga tersebarnya kasepuhan-kasepuhan serta kaolotan di wilayah Banten Selatan hingga ke kabupaten Sukabumi (Jawa Barat). Berdasarkan beberapa cerita yang beredar, terdapat 7 turunan kasepuhan yang tersebar di Banten Selatan. Masing-masing kasepuhan yang beredar tersebut memiliki turunannya yang berbeda, sehingga sangat wajar jika terdapat istilah Rendangan atau Kokolot Lembur yang menukan salah satu kasepuhan.

Dalam pertemuan singkat tadi, para Rendangan bertatap muka dan terjadi komunikasi dua arah antara Kasepuhan sebagai ketua adat dengan para Rendangan secara bergiliran. Segala pengalaman hidup, hasil materi yang didapatkan diceritakan kepada ketua adat. Peristiwa ini oleh para sesepuh adat dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari masyarakat di komunitas adat kepada ketua adat. Istilahnya adalah Carita atau Nyarita.

Interaksi para rendangan dengan ketua adat kasepuhan, merupakan bentuk komunikasi kelompok yang besar atara ketua adat dengan warganya, karena para rendangan merupakan representasi dari seluruh masyarakat adat yang meliputi keturunan incu putu Kasepuhan, karena masyarakat adat Kasepuhan dalam berkomunikasi dengan ketua adat diwakili oleh rendangan.

Ketua Adat, dan rendangan selalu memerintahkan, mendorong, mengingatkan supaya masyarakat ikut andil dan berpartisipasi dalam kegiatan SEREN TAUN. Ketua adat dengan masyarakat terjalin komunikasi berupa perintah-perintah melalui rendangan sebagai alat komunikasi adat yang diperintahkan oleh kepala adat agar dapat dituruti oleh masyarakat.

Tradisi SEREN TAUN sangat penting untuk dijaga, dan diwariskan secara turun-temurun kepada masyarakat dari generasi ke generasi karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal berupa aturan-aturan, hukum adat, sanksi adat serta pantangan-pantangan dari ketua adat kepada rendangan melalui musyawarah, kumpulan dan rembukan, sehingga rendangan atau kokolot lembur yang kemudian akan menyampaikannya kepada masyarakat adat untuk kemudian disampaikan kepada anak cucunya, selain dari sosialisasi langsung dari sesepuh dan tokoh adat kepada masyarakat tentang proses menjalani kehidupan di tahun berikutnya.

Penanaman nilai-nilai budaya tradisi SEREN TAUN dalam pelestarian kearifan lokal merupakan suatu tradisi Masyarakat Adat yang dilakukan secara turun-temurun, dilaksanakan dari generasi ke generasi, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas panen yang melimpah selama satu tahun, serta menyambut masa tanam tahun berikutnya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya adat SEREN TAUN yaitu nilai sebagai tuntunan dan nilai sebagai tontonan, yakni nilai yang berhubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan alam, diri sendiri, sesama manusia dan bangsanya, dan sesama makhluk ciptaan Allah Swt.

Nilai yang terkandung dalam tradisi SEREN TAUN sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia karena di dalamnya mengandung nilai religius atau agama, nilai keindahan, nilai kebersamaan, gotong-royong atau nilai kemasyarakatan, nilai keharmonisan, nilai kepatuhan, nilai pelestarian alam, dan lain sebagainya. Walaupun dalam hal ini masyarakat awam belum sepenuhnya mengetahui nilai-nilai yang terkandung didalam tradisi SEREN TAUN tersebut, namun masyarakat selalu melaksanakannya dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Post a Comment for "TRADISI SEREN TAUN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN DI BANTEN SELATAN"