BANTEN MASA AWAL (TINGGALAN HINDU BUDHA DI BANTEN)
Awal Budaya Hindu-Budha di Banten
Kronologi tingkat budaya di daerah Banten tidak terlepas dari pembabakan secara umum berlaku di Indonesia. Pada masa selanjutnya setelah masa prasejarah, perkembangan kebudayaan Indonesia ditandai dengan hadirnya unsur-unsur kebudayaan India. Pengaruh india membentuk suatu masyarakat yang lebih kompleks dibandingkan dari masa sebelumnya. Muncul kelompok-kelompok masyarakat yang lebih teratur bahkan kemudian terbentuk beberapa kerajaan bercorak Hindu-Budha. Masa pengaruh Hindu-Budha ini dikenal dengan masa Klasik. Dalam masa ini masarakat menyatukan pikiran-pikirannya dengan tulisan, baik dari prasasti dari batu atau logam maupun cerita yang ditulis pada daun lontar.
Pengaruh Hindu-Budha juga ditemukan di daerah Banten. Bukti-bukti pengaruh tersebut kini hanya dalam bentuk tinggalan, seperti arca Ganesha yang ditemukan di pulau Panaitan dan arca Dwarapala dari daerah aliran sungai Cibanten. Patut dicermati, meskipun budaya Hindu-Budha telah mempengaruhi prilaku dan pola hidup sebagian masyarakat Banten masa lalu, namun budaya dan tradisi sebelumnya yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun tetap dipraktekan dalam aktivitas hidup dan tidak ditingalan begitu saja.
Bukti-Bukti Tinggalan Dari Masa Hindu-Budha
1. Prasasti Munjul
Hingga saat ini, belum ditemukan data yang pasti tentang masuknya pengaruh Hindu-Buddha di daerah Banten. Namun, diduga sebelum abad ke-5 pengaruh tersebut sudah ada di Banten. Dugaan ini berdasarkan pada sebuah prasasti yang ditemukan pada tahun 1947, di aliran Sungai Cidanghyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Karena ditemukan di daerah Munjul, maka prasasti ini dinamakan Prasasti Munjul. Prasasti Munjul berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta, dipahat pada sebuah batu andesit yang berukuran panjang 3,2 m dan lebar 2,25m. Prasasti Munjul ditulis menggunakan teknik tatah dengan kedalaman gores kurang dari 0,5 cm, sehingga antara permukaan batu asli dengan tulisan hampir sama. G. J. de Casparis bersama Boechari, dua tokoh yang terkenal di bidang epigrafi, berhasil membaca prasasti Munjul pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1954, Dinas Purbakala RI melakukan transkripsi prasasti tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:
“vikranto ‘yam vanipateh prabhuh satyapara (k) ra (mah) narendraddvajabhutena srimatah purnnavarmmanah“
yang berarti:
“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”
Dari hasil pembacaan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa daerah Banten pernah termasuk dalam wilayah kekuasaan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang berlatar belakang agama Wisnu. Wilayah Kerajaan Tarumanegara mencakup seluruh dataran rendah dari muara Sungai Citarum sampai ke Selat Sunda. Sekitar abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara berakhir dan sesudah itu tidak ada bukti atau berita yang menyatakan kerajaan tersebut masih ada.
Bukti adanya pengaruh Agama Siwa di Banten dapat dilihat dari tinggalan purbakala di Pulau Panaitan yang terletak di selatan Selat Sunda. Di pulau Panaitan terdapat gunung raksasa dengan ketinggian 320 mdpl. di gunung ini ditemukan situs dengan tinggalan berupa beberapa arca Hindu yaitu arca Siwa dan arca Ganesha. Situs ini pertama kali ditemukan oleh Bupati Caringin R. Adipati Koesoemaningrat pada tahun 1894.
Lalu laporan tahun 1952-53 dari Dinas Purbakala mencatat lagi arca ini, malah sudah didaftarkan sejak tahun 1914 pada Rapporten Oudheitkundige Dienst — nomer 9.
Pihak Seksi PPA — Ujung Kulon dan Panaitan sudah beberapa kali ke sana, membuat sedikit dokumentasi kasar.
patung orang-nya tahun 1975 masih ada, malah pohon hanjuang ini saya tanam tepat di belakangnya," Andy Koharudin — Kepala Rayon PPA Bogor, ngotot memberi keterangan.
Memang bekas lubang alas arca masih kelihatan, pohon hanjuang-pun masih segar tumbuh memerah daunnya. Tetapi apapun yang didiskusikan sekitar lenyapnya "arca Syiwa", tetap saja Ganesha tinggal sendirian di puncak Gunung Raksa.
Tulisan dan laporan ahli-ahli Belanda tentang arca Jawa Barat, lebih banyak memberi predikat "tipe arca Pajajaran atau tipe arca Polinesia".
Mungkin ditinjau dari segi ketidaksempurnaan dan kesederhanaan dari penatahan wujud tubuh, rupa dan hiasan serta beberapa atribut lainnya.
Tipe yang demikian ini mendominan di sekeliling Jawa Barat dan ada kemiripan dengan ciri-ciri arca batu yang berserakan di kepulauan Polinesia.
Kesederhanaan wujud dan distribusi yang terbatas, ditambah lagi tidak terlalu banyak ditopang benda-benda bukti temuan lainnya, akhirnya menyulitkan analisa ciri seni dan tipologi dalam menelusuri kronologi benda bersangkutan, malah akhirnya ahli-ahli kita ikut-ikutan menyimpulkan identik dengan kedua tipe tersebut di atas.
4. Arca Nandi dari Karangantu
Di timur pelabuhan Karangantu, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang pernah ditemukan Arca Nandi yang merupakan wahana atau kendaraan Dewa Siwa. Arca ini ini disimpan di Museum situs kepurbakalaan Banten Lama. Adanya temuan arca Nandi Karangantu memperkuat indikasi bahwa Agama Siwa menjadi agama yang dianut di bagian Barat Pulau Jawa pada pertengahan abad ke-10 sampai awal abad ke-16. Dilihat dari gayanya, Arca Nandi Karangantu diduga berasal dari abad ke-13 atau abad ke-14.
Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. Adapun Banten Ilir atau Banten Lama pada masa itu berfungsi sebagai pelabuhan. Agama yang dianut Prabu Pucuk Umun dan rakyatnya ketika itu adalah Hindu – Budha. Di tepi Sungai Cibanten, terdapat goa buatan yang dipahat pada sebuah tebing jurang. Goa ini memiliki dua pintu masuk yang di dalamnya terdapat tiga ruangan.
Pada pertengahan tahun 1990-an, ditemukan sebuah arca Dwarapala di Sungai Cibanten, tidak jauh dari Situs Banten Girang. Sebagaimana dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Sungai Cibanten dahulu kala berfungsi sebagai jalur transportasi yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman.
Di dalam Babad Banten dikisahkan tentang penaklukan seluruh wilayah Banten oleh bala tentara Islam, yang diinterpretasikan sebagai perebutan kota Banten Girang. Dalam Babad Banten juga disebutkan keterkaitan antara Banten Girang dengan Gunung Pulosari. Ketika Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin singgah di Banten dan Banten Girang, mereka kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Gunung Pulosari yang menjadi tujuan utama. Gunung Pulosari pada masa itu merupakan wilayah Brahmana Kandali, yang dihuni oleh para pendeta. Ketika Hasanuddin meng-Islamkan para pendeta, mereka disarankan untuk tetap menetap di Gunung Pulosari, sebab jika tempat itu sampai kosong akan menjadi tanda berakhirnya Tanah Jawa. Dalam Babad Banten diceritakan pula bahwa setelah kemenangan Hasanuddin, sejumlah penduduk Banten Girang yang tidak mau memeluk Islam melarikan diri ke pegunungan selatan yang hingga saat ini dihuni oleh keturunan mereka, yakni orang Baduy. Kenyataan ini didukung kebiasaan orang Baduy yang selalu berziarah ke Banten Girang.
7. Situs Patapaan
Di kampung Patapan Pasir, Desa Nagara, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang terdapat tinggalan berupa banguna yang sebagian besar masih terpendam dalam tanah. Tinggalan ini dikenal dengan nama situs Patapan. Situs ini diperkirakan merupakan temuan pasca kemerdekaan, karena dalam buku inventaris kepurbakalaan yang disusun N.J. Krom tahun 1914, diwilayah Kabupaten Serang tidak ada situs bernama patapan. Pada tahun 1991/1992 dan tahun 1992/1993 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Serang melakukan upaya perlindungan dengan cara pemagaran situs patapan. Baru pada tahun 1996, Balai Arkeologi Bandung melakukan peninjauan dan pemotretan yang ditindaklanjuti dengan penelitian pada tahun 1997-1998. Pada tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang melakukan studi teknis di situs ini.
Pada awalnya situs patapan diduga sebagai tinggalan tradisi megalitik, karena dari bentuk bangunannya menyerupai punden berundak yang lazim dijumpai pada bangunan peninggalan tradisi megalitik. Bangunan di situt ini diduga pula digunakan pada masa-masa berikutnya atau setelah ditinggalkan masyarakat pendukung tradisi megalitik. Ketka pengaruh kebudayaan Hindu datang, bangunan di situs Patapan digunakan sebagia bangunan sakral, dan ketika kebudayaan Islam datang kemudian, bangunan ini dipergunakan sebagi tempat pengasingan diri (tirakat).
Berdasarkan dari hasil penelitian Balai Arkeologi Bandung (1996 dan 1997-1998) serta hasil studi teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (2003), serta arsitektur dan teknologi, situs Patapan diperkirakan sebuah bangunan candi. Bangunan situs Patapan membentuk sebuah batur bujur sangkar yang berukuran 10 x 10 m. batur ini terbuat dari susunan satu lapis batu pasir berwarna putih di bagian luar, sedangkan di bagian dalamnya terdiri dari pergeseran tanah bercampur tatal-tatal batu pasir. Di tengah batur terdapat altar pemujaan.
Bangunan di situs Patapan dapat dibandingkan dengan peningglan masa Hindu abad ke-8 seperti Candi Sambisari di kabupaten Sleman dan Candi Tengaran di Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah. Pada saat ditemukan kedua candi tersebut berbentuk umpak-umpak tiang. Adanya umpak-umpak pada kedua candi ditafsirkan bahwa candi kecil dibangun setelah batur didirikan.
Sumber: Ragam Pusaka Budaya Banten-Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten
Post a Comment for "BANTEN MASA AWAL (TINGGALAN HINDU BUDHA DI BANTEN)"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi