CIKOTOK: Legenda Ayam Emas
Cikotok: Legenda Ayam Emas meraih Juara 1 Lomba Penulisan Cerita Rakyat Tingkat Prov. Banten 2016 dan Juara 1 Lomba Bercerita Siswa SMP/MTs Tingkat Prov. Banten 2015.
CIKOTOK:
Legenda
Ayam Emas
Karya Ismawanto
Dahulu kala, pada masa Kerajaan
Padjadjaran hiduplah pasangan
suami-istri yang bernama
Ki Sangkala dan Nyai Kerok. Ki Sangkala memiliki perangai yang tamak. Mereka
belum dikaruniai anak walaupun mereka sudah lama menikah. Dalam kesepiannya,
Nyai Kerok yang memiliki suara merdu suka bernyanyi sambil memberi makan binatang
peliharaannya.
Pada suatu malam, Ki Sangkala dan Nyai
Kerok dituduh mencuri ayam. Banyak warga yang mendatangi rumah Ki Sangkala
dengan menunjukkan kemarahannya. Nyai Kerok kaget dan ketakutan. Malam itu
juga, para warga beramai-ramai membawa Ki Sangkala dan Nyai Kerok ke hadapan
Raja Padjadjaran. Di hadapan raja, Nyai
Kerok berkata, “Tidak,
Yang Mulia. Bukan saya yang mencuri ayam itu, tetapi ayam itu yang berada pada
kandang ayam saya.”
“Bohong! Dia yang telah mencuri ayam saya,” sangkal seorang warga.
“Tidak, saya tidak mencuri ayam itu,”
jawab Nyai Kerok sambil menangis.
“Baiklah Sangkala,
jikalau kau tidak melakukan kesalahan, kau akan temukan di kemudian hari, tapi
untuk kali ini aku ingin kau pergi dari Tanah Priangan
ini,” tegas
Raja Padjadjaran.
Kemudian Ki Sangkala dan Nyai Kerok melakukan pengembaraan
untuk keluar dari wilayah Kerajaan Padjajaran. Mereka berjalan berhari-hari,
melewati hutan belantara pegunungan, menyusuri gugusan bukit-bukit yang
terbentang luas, menghantam angin, menghiraukan derasnya hujan dan bermalam di
hutan. Hanya suara-suara binatang yang terdengar saling bersahutan. Tidak
ditemukan orang selama mereka melakukan pengembaraan.
Pada suatu hari, Nyai Kerok kelelahan.
Mereka tidak bisa melanjutkan
pengembaraan lagi.
“Abah, Nyai sudah lelah, kaki ini sudah
tak mampu kulangkahkan lagi.”
“Baiklah Nyai, tanah yang kita injak ini
mungkin bukan Tanah Priangan lagi, kita bisa berhenti dahulu di sini,” jawab Ki
Sangkala. Mereka berhenti pada sebuah puncak bukit. Bukit itu juga masih
dipenuhi dengan pepohonan yang lebat.
Nyai Kerok beristirahat sambil
menyandarkan badannya pada akar pohon besar. Sambil mengusap air mata kesedihannya, Nyai Kerok menyanyikan salah satu Pupuh Maskumambang[1]
kesukaannya,
“Aduh ibu ieu kuring keur prihatin,
taya pakumaha,
kuring nandangan kapeurih,
sangsara tanya bandingna.”
Ki Sangkala berputar-putar pandangan di
puncak bukit melihat keindahan bukit-bukit lain yang terhampar luas. Ketika
melihat ke sebelah selatan, Ki Sangkala kaget.
“Nyai, lihatlah ke sana, sungguh indah
sekali bentangan laut itu.”
“Ya, indah sekali. Kita bisa melihat laut
dari sini, pasti tanah ini sudah bukan Tanah Priangan lagi.” Nyai Kerok
terperangah dengan keindahan
itu. ”Kalau begitu, kita bisa tinggal sementara
di sini,” ujar Ki Sangkala. Akhirnya merekapun berencana tinggal sementara di
tempat itu.
Mereka membuat sebuah gubuk di puncak
bukit, menggunakan atap gubuk dari tepus[2].
Selesailah mereka mendirikan gubuk untuk berdua. Ternyata tidak ada sumber air
untuk kebutuhan mereka. Nyai Kerok berkata, ”Abah, saya harus mencari tempat air dulu,
sepertinya agak jauh dari sini.” Ki Sangkala menjawab sambil menunjukan arah,
“Ya, Nyai bisa mencari ke sebelah utara sana, itu sepertinya ada sungai kecil.”
Kira-kira setengah jam Nyai Kerok datang
kembali ke gubuk dengan nafas terengah-engah. “Wah Abah, perjalanannya jauh
sekali saya tidak mampu kalau itu dilakukan setiap hari, lebih baik Abah
membuat saja sebuah sumur yang dekat dengan gubuk ini.” Ki Sangkala diam sejenak
dan berkata, “Baiklah! Nyai, Abah akan mencari tempat yang tepat untuk sumur
kita.”
Kemudian Ki Sangkala mencari sebuah tempat
yang agak lembah. Dia berjalan ke arah utara sekitar 500 meter dari gubuknya
yang berada di puncak bukit. Di sanalah Ki Sangkala membuat sebuah sumur. Dia mulai menggali sumur
dengan peralatan seadanya, dibuat dari kayu dan bambu semacam tombak. Dia mulai
bekerja tanpa lelah. Menjelang sore dia pulang ke gubuknya dan berkata kepada
Nyai Kerok, ”Abah telah telah berhasil menemukan tempat yang cocok untuk
membuat sumur.”
“Dimana?” Nyai Kerok bertanya.
“Kira-kira tidak jauh dari sinilah, tapi
belum selesai,” jawab Ki Sangkala.
“Ya, Abah teruskan saja besok,” kata Nyai
Kerok.
Malam menjelang mereka tidur. Ki Sangkala
bermimpi. Ia berada di pinggir laut, melihat lautan yang begitu luas. Debur
ombak besar menghantam dirinya. Tiba-tiba muncul bayangan kakek dan berkata
dengan suara menggema, ”Tempat yang kau tinggali ini akan menggemparkan dunia.”
Kakek tua itu menghilang seketika dan Ki Sangkala bangun dari tidurnya.
Keesokan harinya, Ki Sangkala pergi ke
lembah tempat penggalian sumur itu lagi. Dia tidak memberitahukan mimpinya
kepada Nyai Kerok. Setiba di lembah penggalian sumur, Ki Sangkala kaget melihat
dua ekor ayam berbulu keemasan. Dengan senangnya dia mencoba untuk menangkap
kedua-duanya. Tapi yang tertangkap hanya ayam betina saja sedangkan ayam jantan
terbang dan hinggap di dahan pohon. Ki Sangkala pulang ke gubuknya dengan wajah
berseri-seri. “Hai Nyai, lihat yang Abah dapatkan!” kata Ki Sangkala.
“Dari mana Abah dapatkan ayam keemasan
itu?” tanya Nyai Kerok.
“Abah temukan di penggalian sumur,” jawab Ki Sangkala.
“Sudah lama kita tidak makan enak. Jadi
kita sembelih saja ayam itu,” kata Nyai Kerok.
Dengan cepat Ki Sangkala melarang,
“Jangan! Masih ada ayam jantan yang belum bisa Abah tangkap. Kita kepung saja
ayam jantan itu, lalu kita pelihara kedua ayam itu agar bertambah banyak.”
Nyai Kerok menolaknya tetapi Ki Sangkala
tetap memaksa.
“Nyai tidak setuju, Abah. Ayam ini juga
cukup untuk makan malam kita.”
“Ahh… Nyai! Ini kesempatan bagi kita untuk
memiliki ayam yang banyak,” sanggah Ki Sangkala. Ki Sangkala berusaha
meyakinkan istrinya. Dia begitu ambisi ingin menangkap ayam jantan dibantu
istrinya.
Dengan berat hati, Nyai Kerok menuruti
kehendak Ki Sangkala. Mereka pergi ke lembah penggalian sumur sambil membawa
ayam betina sebagai
umpannya. Untungnya ayam jantan
itu
masih berada di
dahan pohon. Ayam betina dipegang
oleh Nyai Kerok, sedangkan Ki Sangkala memanjat pohon yang dihinggapi oleh ayam
jantan. Tiba-tiba
ayam jantan terbang,
Ki Sangkala tidak dapat menangkapnya. Ayam jantan tersebut berputar-putar dan berkokok di atas kepala Ki Sangkala, seakan-akan mengejeknya.
“Kongkorongoook!”
Ki Sangkala marah sekali sambil menggerutu.
“Hai ayam jantan! Aku akan kejar kemanapun kau terbang.”
‘’Nyai, pegang ayam betina ini erat-erat jangan
dilepaskan, Abah akan kejar itu ayam jantan itu sampai dapat,‘’ perintah Ki Sangkala.
’’Baiklah, Nyai akan tunggu Abah di gubuk saja,’’ Nyai Kerok menjawabnya.
Nyai Kerok pulang ke gubuk dan Ki Sangkala
terus mengejar ayam dengan muka yang garang. Dia melewati bukit-bukit,
menyebrangi
sungai, tapi ayam yang dikejarnya belum dia dapatkan. Dia juga menerobos ngarai
sampai tiba pada sebuah dataran bukit yang dipenuhi rotan. Sayangnya ayam jantan itu belum dapat ditangkap.
Dia kaget, seketika ayam jantan itu menghilang. Terdengar sayup-sayup
suara berasal dari semak-semak rotan tersebut. ‘’Hai, Aki. Kau tidak akan
menemukan ayam itu, dia akan tinggal selamanya di sini.’’ Suara itu terdengar
berkali-kali tetapi Ki Sangkala tidak dapat melihat wujudnya. Ki Sangkala
memohon sambil meminta belas kasihan dari suara yang terdengar.
“Hei, Penguasa rotan dan bukit ini, Aku
memohon kepadamu. Berikanlah ayam jantan itu kepadaku demi istri tercintaku.
Aku mohon kepadamu, penguasa rotan.” Dia
memohon sambil bersujud-sujud ke berbagai arah.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa
terbahak-bahak seakan-akan mengolok-olok Ki Sangkala, diikuti alunan merdu Pupuh Asmarandana Degung[3],
“Ulah
nyalindung ka gunung,
ulah
muntang ka sagara,
gunung
mah sok rajeun urug,
sagara
sok rajeun saat,
nya
munjung kudu ka indung,
nya
muja kudu ka bapa,
indung
mah tunggul rahayu,
nya
bapa tangkal darajat.”
“Jangan menasehatiku! Aku tak butuh
saranmu.” Ki Sangkala marah. Akhirnya Ki Sangkala pulang dengan tangan hampa.
Selama perjalanannya dia membuat tepak
jalak[4]
pada pohon yang dilewatinya.
Sore hari, Ki Sangkala tiba di gubuknya
dengan wajah yang jengkel dan marah. Dia langsung mengambil ayam betina yang kakinya
diikat di pohon depan gubuknya. “Heh, ayam menyebalkan! Cape-cape saya
mengejarnya tidak dapat apa-apa.’’ Ki Sangkala menggerutu sambil membawa ayam betina
tersebut ke lembah penggalian sumur. Nyai Kerok kaget, lalu mengejar Ki Sangkala.
Setiba di tempat penggalian sumur, Ki
Sangkala langsung menyembelih ayam betina tersebut. Darah ayam itu dicucurkan
ke tempat penggalian sumur. Melihat kejadian itu, Nyai Kerok menghampiri Ki
Sangkala.
“Mengapa Abah menyembelih ayam itu?’’
Tanya Nyai Kerok.
“Abah kesal karena ayam jantan malah
menghilang sendiri,’’ jawab Ki Sangkala sambil terus mengucurkan darah ayam itu
ke tempat penggalian sumur.
Tiba-tiba kucuran darah ayam jantan
mengkilau, memancarkan cahaya keemasan sehingga tempat penggalian yang gelap
berubah menjadi kilauan terang. Mereka terperangah karena ayam betina dan
darahnya berubah menjadi kilauan batu emas. Segera mereka mengambilnya dengan
senang hati. Ki Sangkala berpikir, “Wah! Nyai kalau begitu berarti ayam jantan yang
menghilang di semak-semak rotan juga akan berubah menjadi batu emas.” Kemudian
Ki Sangkala mengajak Nyai Kerok untuk mendatangi tempat hilangnya ayam
tersebut. Lagi-lagi Nyai Kerok menolaknya.
“Cukup Abah, untuk apa kita memiliki batu
emas itu?”
“Nyai, masih ingatkah dahulu pada waktu
kita mengunjungi istana Raja Padjadjaran? Abah melihat perhiasan batu emas
seperti ini dan katanya batu keemasan ini sangat berharga.” Berkali-kali Nyai
Kerok menolaknya. Tetapi apalah daya bagi Nyai Kerok, Ki Sangkala tetap memaksanya.
Mereka pergi ke sana dengan melewati pohon-pohon
yang sudah ditandai oleh Ki Sangkala. Mereka tiba di semak-semak rotan.
Langsung mereka menggalinya menggunakan peralatan seadanya. Dengan penuh
semangat, Ki Sangkala dan Nyai Kerok terus menggali. Beberapa meter kemudian,
apa yang mereka yakini ternyata terbukti. Kilauan batu emas sebesar ayam jantan memancar hingga menerangi lubang
tersebut. Mereka tertawa kegirangan walaupun batu itu belum digenggamnya.
Mereka harus menggeser dahulu salah satu
batu pengungkitnya untuk mendapatkan
emas yang berkilau itu. Ketika mereka
menggeser
salah satu batu, batu besar di di atas kepala Ki
Sangkala dan Nyai Kerok runtuh
menimpa mereka. Akhirnya
Ki
Sangkala dan Nyai Kerok tewas
tertimpa batu besar
itu.
Darah ayam betina meresap bersatu dengan tanah di
tempat penggalian sumur itu. Resapan darah itu membentuk urat-urat[5]
batu emas, menjalar ke beberapa bukit yang ada di sekitarnya.
Disebut Cikotok berasal dari kata Ci diambil
dari darah ayam karena berbentuk cair. Ci
sendiri dalam bahasa Sunda berarti air. Kotok
berasal dari bahasa Sunda yang berarti ayam.
Karena ayam betina yang disembelih di tempat penggalian
sumur itu mati maka penambangan emas sekarang ini di tempat penggalian sumur
tersebut jarang terjadi kecelakaan. Tetapi karena ayam jantan yang di semak-semak rotan itu tidak tertangkap
atau masih hidup, sampai saat ini apabila para penambang emas melihat batu emas
berbentuk ayam jantan di
dalam lubang, maka selalu diakhiri kecelakaan dan kematian.
Selesai
*) Penulis adalah alumnus SMPN 1 Cikotok, pernah meraih Juara 2 Lomba
Cepat Tepat Guru PGRI se-Kab. Lebak tahun 2011; Juara 1 Lomba Cepat Tepat Guru
PGRI se-Kab. Lebak tahun 2014 dan Juara 1 Lomba Cepat Tepat Guru PGRI se-Kab.
Lebak tahun 2016. Saat ini mengajar di SMPN 1 Cibeber.
Post a Comment for "CIKOTOK: Legenda Ayam Emas"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi