Falsafah Hidup Masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak



Halo Sahabat Budaya! Apa kabar? Semoga tetap sehat selalu ya. Oya, kali ini saya ingin membahas tentang beberapa falsafah hidup yang kerap kali menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan pada masyarakat adat nih. Pembahasan ini penuh mengandung nilai filosofi loh, jadi siap-siap ya. 

oya, berbicara tentang masyarakat adat, Defenisi atau istilah tentang “Masyarakat Adat” dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan dan mengundang perdebatan di kalangan para pakar dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Tak heran jika banyak istilah yang dilekatkan pada masyarakat yang masih tunduk dan patuh terhadap tertib sosial dengan berbagai kekhasan-nya sendiri, misalnya masyarakat suku, masyarakat asli, masyarakat tradisional, masyarakat lokal, masyarakat adat hingga masyarakat hukum adat. Artinya, masyarakat adat atau Masyarakat Hukum Adat (MHK) merupakan komunitas yang menjaga nilai-nilai budaya hingga turun temurun, yang memiliki aturan-aturan adat.

Di Kabupaten Lebak, terdapat terdapat 2 tipologi masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak, yakni Masyarakat Adat Desa Kanekes (Baduy), dan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Kedua tipologi tersebut berdasarkan Perda Kab. Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Perda Kab. Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. Hal ini dikarenakan Kabupaten Lebak terletak di bagian Selatan Provinsi Banten, yang bersebelahan dengan kabupaten Pandeglang di batas bagian Baratnya. 

Masyarakat adat yang tersebar di kabupaten lebak, jumlahnya berkisar kurang lebih 20 masyarakat adat, termasuk diantaranya kasepuhan Ciptagelar. Meskipun kasepuhan Ciptagelar secara administratif termasuk kabupaten Sukabumi provinsi Jawa Barat, namun secara letak budaya, kasepuhan cipta gelar termasuk pada kesatuan adat Banten Kidul.

Nah, sekarang saya akan membahas tentang falsafah hidup masyarakat adat kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak. 

  1. Tilu sapamali dua sakarupa nu hiji eta-eta keneh
    “tiga pantangan dua serupa dan yang satu itu-itu juga”
    Pelaksanaan hal itu dalam berbagai kehidupan manusia selalu diatur oleh tiga faktor, misalnya di Indonesia tiga hukum, yaitu hukum adat, hukum agama, dan hukum negara. Ketiga hukum itu harus selalu harmonis karena satu dengan yang lainnya memiliki kepentingan yang sama. Jika salah satu diabaikan, akan terjadi ketidakseimbangan atau ketidakstabilan sebuah negara. Selama ketiganya harmonis maka sebuah negara akan sejahtera, rukun, dan damai. Kalau tidak harmonis di antara ketiganya, bahkan ketiganya tidak berwibawa maka akan kacaulah sebuah negara, seperti bunyi ungkapan:
    – Dukun kurang pangaruh,
    – Pamarentah kurang komara,
    – Ulama kurang wibawa.
    Dukun kurang pangaruh artinya adat istiadat hanya dijadikan kedok, dukun sebagai simbol hukum adat; pamarentah kurang komara artinya pemerintah kurang dihormati, pemerintah sebagai simbol hukum negara; dan ulama kurang wibawa artinya para ulama sebagai simbol hukum agama kurang berwibawa.
  2. Dalam perilaku manusia ada tiga faktor penting, yaitu:
    a. Tekad (niat/itikad),
    b. Ucap (perkataan),
    c. Lampah (perilaku).
    Ketiganya akan berjalan saling menguatkan. Niat yang baik akan menghasilkan perkataan dan perilaku yang baik. Begitu pun sebaliknya jika niatnya sudah buruk maka perkataan dan perilaku juga akan tidak baik.
  3. Dalam bidang pertanian terdapat tiga aspek penting, yaitu:
    a. Areg (kenyang/sejahtera)
    b. Aras (sehat),
    c. Acis (pendidikan).
    Pertanian bagi masyarakat desa merupakan mata pencaharian utama, dengan demikian para petani atau orang tua berharap dengan bertani akan tercukupilah kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan keluarga terutama masa depan keturunan mereka.
  4. Keadaan alam dan masyarakat digambarkan dalam tigal hal, yakni
    a. Alam ngaca,
    b. alam ngaco,
    c. alam ngaci.
    Alam ngaca artinya kejadian alam dijadikan sebagai cermin; alam ngaco artinya keadaan perilaku masyarakat yang sudah kacau balau; dan alam ngaci artinya keadaan alam yang sae (baik). Keadaan masyarakat atau alam yang sudah kacau balau digambarkan dalam sebuah ungkapan: dukun kurang pangaruh ‘dukun kurang dihormati’, paraji kurang sakti ‘dukun beranak diragukan kemampuannya’, pamarentah kurang komara ‘pemerintah tidak disegani’, ulama kurang wibawa ‘ulama tidak berwibawa’, dan rakyat euweuh kaera ‘rakyat sudah tidak memiliki rasa malu’.
  5. Dalam aturan adat yang berlaku di Kasepuhan Cisitu ada yang disebut 5 N (maksudnya kalimat berakhiran konsonan –n) sebagai jimat paripih, yakni:
    a. Pangeran sembaheun ‘Tuhan untuk disembah’,
    b. Nabi tuladaneun ‘nabi menjadi suri teladan’,
    c. Karuhun turuteun ‘leluhur untuk diikuti’,
    d. Makhluk binaeun ‘manusia untuk dididik’,
    e. Nagara olaheun ‘negara harus diurus/diolah’.
  6. Keseharian hidup masyarakat Kasepuhan Cisitu diatur dalam sebuah ungkapan leluhur yaitu:
    Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, dahar kudu halal, ngucap kudu bener
    Mipit kudu amit artinya, kalau mau berbuat harus minta izin terlebih dahulu; ngala kudu menta artinya apabila akan mengambil sesuatu harus terlebih dahulu meminta kepada pemiliknya;
    Nganggo kudu suci
    Artinya, menggunakan sesuatu seperti pakaian atau barang-barang harus bersih agar terhindar dari penyakit;
    Dahar kudu halal
    Artinya, apabila makan hendaklah memakan makanan yang halal, baik barangnya maupun caranya;
    Ngucap kudu bener
    Artinya, berkata harus selalu benar. Jadi manusia itu harus selalu jujur, benar, cakap, berwibawa, dan dapat dipercaya.
  7. Untuk menjaga keharmonisan dan terhindar dari gesekan-gesekan yang akan menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam bermasyarakat maka sebagai antisipasinya dijaga dengan aturan leluhur, yaitu:
    Samemeh ngampar kasur, kedah ngampar samak, samemeh ngoreksi batur , koreksi heula diri sorangan
    ‘sebelum menggelar kasur, harus menggelar tikar, sebelum mengoreksi orang lain, koreksi dulu diri sendiri’.
Sumber: Catatan Perjalanan Pribadi (Wisnu Wirandi) Ex Penggiat Budaya Kab,Lebak sejak 2017-2021.

Post a Comment for "Falsafah Hidup Masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak"