Peristiwa Kolenjer, Falak, Primbon dan Weton Dalam Budaya Lokal di Masyarakat Adat


Halo Sahabat Budaya yang mengagumkan! bertemu lagi dengan Aksara Budaya yang akan membahas fenomena-fenomena budaya di Nusantara. Nah, sahabat kali ini Aksara Budaya akan membahas terkait fenomena unik tentang sebuah keilmuan yang unik pada masyarakat adat di Indonesia. Apakah itu?? nah simak selengkapnya dalam pembahasan ya.

Apakah sahabat budaya pernah mengalami saat dimana sahabat melakukan sesuatu yang penting dalam kehidupan, lalu sebelum dimulainya kegiatan tersebut dilakukan prosesi penghitungan waktu yang baik dan waktu yang tepat berdasarkan perhitungan baik itu tanggal lahir, atau dilihat berdasarkan fenomena alam? atau kah sahabat budaya pernah mendengar istilah Kolenjer, Falak, Primbon dan Weton ? Fenomena ini menarik untuk kita bahas, karena hampir setiap daerah pada masyarakat adat saya kira pasti melakukan hal tersebut. Baik, kita bahas satu per satu ya.

Kolenjer adalah alat penanggalan pada masyarakat Sunda, khususnya masyarakat adat Kanekes (Baduy). Fungsinya menentukan naptu tanggal, naptu poe, dan wanci. Naptu tanggal adalah menghitung bulan. Naptu poe untuk menghitung poe (hari). Sedangkan naptu wanci dipakai untuk meramal nasib baik, perjodohan dan lain-lain. Hingga kini kolenjer masih digunakan oleh masyarakat adat kasepuhan maupun masyarakat adat desa Kanekes Baduy.

Hingga saat ini belum ada catatan sejarah khusus mengenai kapan awal mula kolenjer dikenal oleh masyarakat Adat di Sunda secara umum maupun di masyarakat adat Kanekes, namun hal yang pasti bahwa Kolenjer sudah digunakan sejak lama oleh masyarakat. Hal ini sangat masuk akal karena kolenjer telah menjadi alat atau ilmu pengetahuan yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian masyarakat Kanekes. Pengetahuan akan kolenjer menjadi penting bagi masyarakatadat Kasepuhan maupun masyarakat adat Kanekes, sama halnya dengan kalender Gregorian di masyarakat kita pada umumnya. Dalam beberapa artikel yang ditulis mengenai masyarakat Kanekes atau Baduy, sering kali mengaitkan kolenjer dengan pengetahuan bahasa sunda kuno.

Adapun dalam Peraturan Desa Kanekes nomor 1 tahun 2007 yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Lebak Banten, menyebutkan dalam Bab 1, pasal 1 (mengenai peristilahan), bahwa Kolenjer adalah kalender atau sistem penanggalan yang digunakan masyarakat adat Kanekes dan berlaku secara turun-temurun.

Kolenjer terbuat dari kayu, berbentuk lempangan papan. Ukurannya kurang lebih 6 x 25 cm. Permukaannya ditandai garis-garis dan titik-titik. Orang yang menggunakannya adalah Puun. Tapi dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, bujangga-lah orang yang terbiasa mengguankannya.

(Gambar Kolenjer)

Ada tiga fungsi kolenjer dalam hal meramal yang mengacu pada aneka jenis kolenjer itu sendiri. Pertama, Kolenjer indit-inditan (bepergian) adalah kolenjer yang digunakan untuk menentukkan hari dan arah mana bila hendak berpergian. Kedua, kolenjer durujana. Kolenjer ini digunakan oleh orang yang mengalami pencurian, dalam arti mencari siapa pelaku yang telah melakukan pencurian. Ketiga, kolenjer bajo. Arti kata bajo sendiri adalah bajak laut, maka kegunaan kolenjer bajo adalah untuk menyerang atau membinaskan orang lain. Penggunaan kolenjer ini dirahasiakan oleh masyarakat kanekes. Begitu pula kolenjer yang digunakan oleh masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul, penggunaan dan jenis kolenjer yang digunakan hampir sama.

Berbeda istilah dengan budaya Jawa dalam sistem penanggalan yang disebut dengan weton. Dalam Budaya Jawa weton adalah perhitungan hari lahir seseorang yang digunakan sebagai patokan untuk merujuk ramalan tertentu. Dalam kalender Jawa, satu pekan terdiri dari tujuh hari yang diadopsi dari kalender Islam dan lima hari pasaran. Jawa.Weton, adalah gabungan keduanya yang menunjukkan hari kelahiran seseorang. Biasanya orang jawa dalam menentukan hari dan tanggal sering mempertimbangkan weton jawa ini dengan harapan dilancarkan dan sesuai perhitungan makna weton jawa. Termasuk dalam pernikahan, jodohpun antara kedua pasangan terkadang dihitung menggunakan weton jawa berdasarkan tanggal dan pasaran jawanya yang memiliki arti berbeda-beda. 

Dalam budaya Jawa dikenal juga dengan istilah primbon. Keberadaan primbon beserta kelahiran dan perkembangannya tidak lepas dari pengaruh Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa di mana ada banyak nilai-nilai Islam yang diadopsi dan bersanding dengan unsur Hindu dan Buddha. Awalnya, primbon hanya berupa catatan-catatan pribadi yang diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keraton yang terdiri dari keluarga kerajaan dan abdi dalem. Saat memasuki abad ke-20 barulah naskah primbon mulai dicetak dan dipublikasikan secara bebas. Meski demikian, saat itu belum terbit naskah primbon dalam bentuk buku yang sistematis. 

Berbeda juga dengan istilah ilmu falak. Dilansir dari wikipedia, falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit-khususnya bumi, bulan, dan matahari-pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.

Ilmu Falak disebut juga ilmu hisab, karena ilmu ini menggunakan perhitungan. Ilmu Falak disebut juga ilmu rashd, karena ilmu ini memerlukan pengamatan. Ilmu Falak disebut juga ilmu miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu. Ilmu Falak disebut juga ilmu haiah, karena ilmu ini mempelajari keadaan benda-benda langit. 

Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab sudah memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu astronomi tetapi, belum terumuskan secara ilmiah. Ilmu astronomi terumuskan dan berkembang pada masa Bani Abbasiyyah sebagai hasil dari akulturasi budaya PersiaIndia, dan Yunani. Terutama sejak munculnya gairah penerjemahan buku ke dalam bahasa arab baik yang diterjemahkan oleh pelajar Kristen, penyembah berhala, maupun pelajar Islam sendiri. Buku buku karya ilmuwan terdahulu seperti ‘’Al Magest’’ karya Ptolomeus, buku buku Plato dan Aristoteles. Dan tokoh yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia menulis buku berjudul ‘’Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah’’ sekitar tahun 825. Buku ini sangatlah mempengaruhi pemikiran ilmuwan Eropa nantinya. Dan, Abul Abbas Ahmad Al-Farghani, dengan karyanya ‘’Nujum wal Harakaat al-Samaawiyah’’. Ia dinobatkan sebagai pionir dalam bidang astronomi modern.

Kesimpulannya, disetiap daerah pada budaya masyarakat adat di Indonesia mengenal ilmu tentang perhitungan atau ramalan. Hal tersebut tergantung pada kegunaan dan fungsi nya masing-masing. Meskipun istilah dan metode yang digunakan setiap daerah berbeda, namun tujuan nya sama yaitu untuk kebaikan kehidupan manusia. 

Demikian informasi yang dapat saya sampaikan mengenai peristiwa unik pada budaya masyarakat tradisi di Indonesia. Semoga menambah wawasan Sahabat Budaya dalam khasanah budaya Nusantara. Semoga bermanfaat, dan Salam Budaya!


Post a Comment for "Peristiwa Kolenjer, Falak, Primbon dan Weton Dalam Budaya Lokal di Masyarakat Adat"