COMPLETIO OPPOSITORUM - Hidup Itu Berpasang-Pasangan

Meskipun hanya terdapat empat jenis budaya religi magis di Indonesia, yakni budaya peramu, budaya ladang, dan budaya maritim, namun sumber masalahnya sama, tak lain adalah faham dualisme antagonistik atau completio oppositorum, bahwa keberadaan ini merupakan pasangan-pasangan saling berseberangan. Manusia dalam budaya primordial Indonesia (juga bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara dan sebagian Asia) percaya bahwa sesuatu itu karena adanya yang lain, yang berseberangan substansi dengan dirinya. Tidak ada terang kalau tidak ada gelap, tidak ada dingin tanpa panas, tidak ada panjang tanpa pendek, tidak ada lelaki tanpa perempuan.

Segala sesuatu itu ada pasangannya, yaitu pasangan oposisioner. Dua pasangan kembar berbalikan itu saling mengadakan (eksistensi), saling menjelaskan, saling mengidentitaskan diri, saling membutuhkan dan saling melengkapi. Keberadaan itu senantiasa dua, dalam hubungan relasional. Tidak ada sesuatu yang isolasi, sesuatu untuk dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak membutuhkan pasangan itu hanya yang Maha Esa yang tanpa pembedaan sama sekali. Segala sesuatu di luar Yang Esa adalah pasangan dualitas.

Pasangan dualitas oposisioner itu memiliki sifat hubungan paradoksal, yakni memisah dan menyatu. Memisah karena me-mang dua entitas. Tetapi yang dua tidak mungkin ada tanpa yang lain, karena keberadaannya masing-masing saling tergan-tung, jadi tak terpisahkan alias hubungan kesatuan. Apa yang disebut bersih tak mungkin ada tanpa apa yang disebut kotor. Makna bersih amat tergantung dari makna kotor. Kotornya demikian maka bersihnya demikian.Itulah

konsep dwitunggal, dua yang satu, satu yang dua. Memisah dan menyatu sekaligus.

Prinsipnya bahwa "ada" itu suatu relasi, sehingga menolak sesuatu yang individual (tak terbagi). Yang satu tak terbagi ada di luar ada fenomena ini. Yang satu tak terbagi itu ada di luar dunia ini. Di dunia ini hanya ada pasangan dualitas sehingga dikenal sifat-sifat, kualitas-kualitas, nilai-nilai. Lelaki tidak akan ada tanpa perempuan dan perempuan tidak ada tanpa lelaki. Maskulinitas sebab dan akibat feminitas. Feminitas sebab dan akibat maskulinitas. Hidup di dunia ini untuk mengenal sifat-sifat dan sifat-sifat muncul dari kondisi dualitas.

Nenek moyang Indonesia hanya mengenal fenomena dunia ini dalam dua kategori: lelaki dan perempuan, maskulinitas dan feminitas. Donya iki isine mung rong prakara, begitu kata orang Jawa, bahwa dunia ini isinya hanya dua hal saja, dan tak lain kelaki-lakian dan keperempuanan.

Selama manusia hidup di dunia dan alam semesta ini, ia akan mengalami sifat-sifat, kualitas-kualitas. Sedih-gembira, suci-dosa, atas-bawah, kiri-kanan, berat-ringan, lapar-kenyang.

Ada bagi manusia itu seperti itu. Yang dapat dikenal manusia dan dialaminya terbagi dalam dua perkara saja yang dualismeantagonistik dan completio oppositorum. Ketiga alam keberadaan yang dikenal manusia, metakosmos, makrokosmos, dan mikrokosmos manusia dan budayanya senantiasa dilihatnya dalam pasangan-pasangan demikian itu.

Di alam metafisik masih ada dewa-dewi, roh lelaki-roh perempuan, roh jahat-roh baik, roh pelindung-roh penghancur.

Di alam makrokosmos ada langit-bumi, matahari-bulan, siang malam, dingin-panas, terang-gelap. Gunung-laut, hulu-hilir, pangkal-pucuk, jurang-landai, api-air, tanah-angin, pe-mangsa-korban, pohon lurus-pohon rindang, dan lain-lain.

Alam manusia dan budayanya (mikrokosmos) juga terbagi dalam tangan kanan-tangan kiri, mata kanan-mata kiri, perasaan-pikiran, darah merah-darah putih, mengkiri-mengkanan,atas-bawah, kulit-tulang, struktur-terbalik, makrokosmos, bawah, Dalam besar-kecil. 

Langit dan bumi, misalnya, dalam satu suku (umumnya peladang) langit adalah perempuan dan bumi adalah lelaki, tetapi pada suku pesawah, langit adalah lelaki dan bumi adalah perempuan. Begitu pula kanan dapat lelaki dan dapat perempuan yang dilawankan dengan kiri. Meskipun kedudukan lelaki dan perempuan serta kelaki-lakian dan keperempuan setara, namun ada perbedaan dimana lelaki ditempatkan dan perempuan ditempatkan.

Dalam silat menyerang dan memukul adalah lelaki, mengelak dan menangkis adalah perempuan. Dalam tarian ada gerak cepat lambat, mengkiri-mengkanan, tangan kiri-tangan kanan, gerak maju gerak mundur, melingkar-lurus, berhadapan-bertolak belakang, gerak tangan-gerak kaki, dapat diperhitung-kan dalam kategori gerak perempuan atau gerak lelaki, meskipun ditarikan oleh perempuan atau lelaki.

Dalam alam makro dibedakan pula pohon tinggi lurus-pohon rindang bawah, buah memanjang-membulat, buah kasar kulitnya-halus isinya (durian, salak) atau halus kulitnya-kasar isinya (kedongdong), binatang udara-binatang bumi, pohon besar-pohon rambat, bunga merah-bunga putih, kuku binatang genap-kuku binatang ganjil, daun berlembar genap-berlembar ganjil, buah yang jauh di atas pohon-buah yang ada dalam tanah (bengkoang, umbi-umbian) serta buah yang rambat di permukaan tanah (timun, semangka).

Kesamaan-kesamaan kualitas alam dapat berefek domino di dunia manusia. Misalnya pasangan matahari-bulan.

Matahari                                    Bulan

(Lelaki)                                (Perempuan)

Siang                                        malam

Panas                                        Dingin

Terang                                       Gelap

Terbuka                                     Tertutup

Besar                                         Kecil


Kualitas-kualitas alam ini ditiru manusia untuk membangun rumah adatnya. Ruang terbuka (depan) = ruang tertutup (belakang), lumbung penyimpan padi* gelap, sempit, dinding rapat, sedangkan pasangannya tempat penumbuk padi = terang, luas, tak berdinding.

Yang menyimpan padi di lumbung adalah lelaki, yang menumbuk padi adalah perempuan.

Fenomena dualitas segala sesuatu yang demikian itulah yang dikenal secara merata di masyarakat suku Indonesia. Hanya bagaimana masing-masing suku memecahkan kondisi dualistik inilah yang berbeda-beda.

SUmber Bacaan: 

Jakob Sumardjo (Bahan Perkuliahan Pascasarjana ISBI Bandung)

Post a Comment for " COMPLETIO OPPOSITORUM - Hidup Itu Berpasang-Pasangan"