Idul Fitri dan "Kaluluputan Diri"

Menjadi suci, inilah hasrat hati ketika kita keluar dari bulan suci setelah melakukan puasa satu bulan penuh. Ramadhan adalah kepompong yang kemudian membuahkan sebuah metamorfosis menjadi diri yang lebih berarti, menemukan hakikat eksistensinya yang fitri.

Ramadhan serupa kawah candradimuka yang diharapkan dapat mendesakkan keinsyafan pentingnya memiliki kesadaran diri. Dengan kesadaran diri ini, pada gilirannya, seseorang dapat bertindak penuh tanggungjawab. Kesadaran diri yang sesungguhnya adalah ajaran yang juga ditanamkan berbagai tradisi. Dalam Tao, misalnya, "Barangsiapa mengenal orang lain, dia adalah bijaksana; barangsiapa mengenal dirinya sendiri, dia memperoleh terang."

Kata Imam al-Ghazali, "Jika kamu tidak mengenali dirimu sendiri, bagaimana kamu akan mengenal orang lain? Lebih-lebih mungkin kamu berpikir bahwa kamu mengenali dirimu sendiri dan ternyata salah, sebab pengenalan semacam ini bukan merupakan kunci menuju pengetahuan akan yang Nyata. Hewan-hewan mengenal sebanyak ini mengenai diri mereka sendiri, sebab tentang dirimu sendiri kamu mengenalnya tidak lebih dari kepala, wajah, tangan, bahwa jika daging, kamu kaki lapar dan maka kulit kamu luar. makan Mengenairoti, dimensi batin, kamu tahu kamu menumpahkannya pada orang lain, dan dan jika kamu marah maka jika nafsu menguasai dirimu maka kamu melangsungkan perkawinan. Semua hewan tahu semua itu!"

Hampir dapat dipastikan bahwa kehancuran alam dan merebaknya beragam angkara sesungguhnya bermula dari diri yang tidak lagi mengenal hakikat eksistensinya. Diri hanya menjadi sebentuk diri anomali yang hanya paham sebatas hal-hal yang bersifat material.

Bagaimana kita mengharapkan hadirnya kehidupan hikmat bijaksana, sementara untuk mengenal inti hakiki dari kemanusiaannya justru absen. Sulit membayangkan terwujudnya negara sejahtera, sementara para pengelola tidak paham apa tujuan bernegara, tidak tahu makna di balik kehadiran dirinya.

Penyakit-penyakit psiko-sosial, seperti depresi, stres, skizoprenia, bunuh diri, penggunaan obat terlarang, korupsi yang menggurita, tindakan politik jahiliah, adalah karena cara pandang manusia modern yang reduktif: mengimani materi sebagai dasar semua bentuk seraya melenyapkan sensibilitas rasa, kepekaan etis, nilai, kualitas jiwa. Krisis menyeluruh pun menyentuh dimensi-dimensi intelektual, moral, lingkungan, dan spiritual yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Inilah sebuah situasi dunia yang mengkhawatirkan dengan karakteristiknyaistilah Anthony Giddens-yang diliputi ketidakpastian (manufactured uncertainty) dan mengarah kepada high consequence risk karena tidak berkembangnya mataair moralitas.

Idul Fitri yang selalu kita selenggarakan setiap tanggal 1 Syawal seringkali hanya menyisakan sebatas upacara kenduri material dan nyaris kehilangan pesan utamanya. Idul Fitri hanya menyisakan kemeriahan baju baru dan kemacetan arus mudik.

Inilah barangkali bentuk Idul Fitri yang menjadi kerisauan sebuah syair lama yang patut kita renungkan: Laisal-'id liman labisal-jadid//walakinna liman tha'?thuhu tazid/wa laisal-'id liman tajmal bil-libasi wal-markub// innamal-'id liman ghufirat lahudz-dzunub (Idul Fitri bukan milik mereka yang berpakaian baru//namun milik mereka yang tingkat ketundukan kepada-Nya menaik//bukan juga milik mereka yang menghiasi dirinya denganbusana dan kendaraan//tapi ia milik orang yang dosa-dosanya terampunkan).

Di tengah suasana yang sedang terpuruk dalam segala bidang, maka mengembalikan pesan hakiki yang terkandung dalam Idul Fitri menjadi amat penting diperhatikan bersama agar ungkapan minal aidin wal faizin tidak menjadi basa-basi.

Post a Comment for "Idul Fitri dan "Kaluluputan Diri""