Tradisi Munggahan? Apa Ya???
Hallo sahabat budaya! Salam Budaya!
Apa kabar hari ini? Semoga menyenangkan ya. Oya
sahabt budaya, Aksara Budaya kali
ini akan membahas tentang seri Islam dalam pandangan budaya Sunda. Nah, karena
sekarang sudah memasuki bulan suci Ramadhan, maka admin Aksara Budaya mohon maaf lahir batin jika terdapat kesalahan ya.
Biar kita makin khusu melaksanakan ibadah puasanya, maka kita harus saling
memaafkan terlebih dahulu.
Ok, kali ini Aksara Budaya akan membahasa salah satu tradisi yang sering di
istilahkan dengan “MUNGGAHAN”. Ada
yang tahu??
Tradisi Munggahan???
Apa ya??? Mari kita bahas.
Munggah dalam kamus Bahasa Sunda artinya
naik. Ketika diberi imbuhan ‘-an’, maka maknanya melambangkan kebiasaan
masyarakat Sunda dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Kalau dahulu, Nabi Muhammad Saw menyambut bulan
Ramadhan dengan sebuah khutbah khusus yang sangat fenomenal, maka masyarakat
Sunda Muslim ngabageakeun (mengekspresikan/melaksanakan)
nya dengan menerapkan secara konkret teks khutbah itu dalam amal bentangan
keseharian.
Munggahan seakan menjadi sebuah peneguhan
bahwa untuk berdamai dengan Tuhan melalui tirakat
tapabrata (berpuasa) satu bulan penuh, orang harus terlebih dahulu
menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Maka, dalam tradisi Munggahan, misalnya masyarakat Sunda satu sama lain saling
memaafkan. Bahkan di beberapa tempat pada masyaratkat adat kasepuhan yang sinkretisme seperti di kasepuhan Banten
Kidul, hal ini dikemas dalam bentuk balakecrakan
bebekelan dengan cara saling mencicipi makanan yang dibawa satu sama lain.
Munggahan menjadi simbol dari upaya untuk
mengawinkan ritus religi dengan dinamika sosio-kultural, dan lambang bahwa
kebermaknaan agama wajib disambungkan dengna persoalan-persoalan sosio
keseharian.
Munggahan adalah contoh nyata dari konsep
berpikir yang menggambarkan fenomena masyarakat beragama, tidak harus bertolak
belakang dengan akar kultural yang telah memupuknya dalam rentang waktu yang
lama. Munggahan, kalau
dialihbahasakan ke dalam idiom agama, akan menjadi serupa dengan silaturahmi.
Bahkan, maknanya tidak sekedar silaturahmi, namun juga memuat ‘konsep lain’
yang berkaitan dengan nuansa psikologis, atmosfer, sosiologis dan sensitivitas
sosial yang cukup kuat kalau sekedar diwadahi dengan idiom silaturahmi.
Inilah pribumisasi Islam, atau Islam dengan
wajah pribumi yang lengkap dengan budayanya. Hal ini penting, agar umat islam
tidak kehilangan pijakan kulturalnya, sehinga dapat menjadi satu kesatuan
antara agama dan budaya. Satu sama lain saling mengisi dan saling melengkapi.
Artinya, agama adalah simbol nilai ketaatan manusia kepada Tuhan, sedangkan
kebudayaan adalah simbol agar manusia bisa hidup di dalamnya. Seperti dikatakan
Kuntowijoyo (1986), bahwa agama memerlukan budaya seperti budaya membutuhkan
agama. Agama tanpa budaya akan kering, sebagaimana kebudayaan tanpa topangan
agama tidak akan memiliki visi yang jelas. Artinya, melalui Agama dan Budaya,
manusia dapat mengetahui jati diri nya.
Munggahan menjadi interupsi kultural yang
mengingatkan kita bahwa puasa yang kita lakukan selama satu bulan penuh menjadi
tidak cukup berfaedah kalau masalah horizontal kemanusiaan tidak diselesaikan.
Antara tekad, ucap dan lampah harus
ditarik ke dalam satu kesatuan yang utuh. Tak ubahnya seperti iman, islam dan ihsan.
Sumber referensi bacaan:
Sufisme Sunda-Hubungan
Islam dan Budaya dalam masyarakat Sunda (Dr. Asep Salahudin)
Post a Comment for "Tradisi Munggahan? Apa Ya???"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi