Materi: Pendidikan Seni dan Pembentukan Karakter

Bahan Ajar Perkuliahan STKIP SETIA BUDHI Rangkasbitung POKDI Bayah

Matakuliah        : Pendidikan Seni Musik

Prodi            : PGSD

Semester             : III

Dosen               : Wisnu Wirandi, S.Sn., M.Sn.



A. Pendahuluan

Seni adalah suatu kegiatan manusia yang bersifat ekspresif, yaitu bersifat pernyataan, atau khususnya ungkapan rasa. Ada sejumlah gagasan, yang didominasi oleh imajinasi yang hendak disampaikan oleh seniman. Seni termasuk salah satu di antara unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal. Artinya, dapat dijumpai dalam setiap masyarakat dengan bentuk serta sajian yang berbeda. Sajian seni hasil dari ekspresi manusia ini sering disebut sebagai karya seni.

 

Seni merupakan aktivitas mental yang mencakup penghargaan, penikmatan serta pengaguman.  Seni merupakan media komunikasi antara seniman dan penikmat seni melalui produk seni. Oleh karenanya tidak lepas dari berbagai unsur ekspresi, kreasi, orsinalitas, intuisi, serta imajinasi. Seni terdiri atas berbagai media ungkap, atau ekspresi yang dikenal dengan sebutan bentuk  seni, yang dalam perkembangannya seni memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan manusia. 

 

Di Indonesia, terutama daerah Jawa, Bali, Padang, Palembang, Kutai, Riau, hingga Irian, serta beberapa daerah  di kawasan Nusantara, seni tidak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari. Seni merupakan kehidupan total tanpa batas, dari mulai peristiwa kehamilan,  kelahiran, masa remaja, masa dewasa, perkawinan, peringatan hari kelahiran, menyambut tamu agung, peristiwa-peristiwa ritual penyembuhan, panen padi, memanggil hujan, hingga digunakan pula sebagai media pendidikan, merupakan bagian hidup dari masyarakat serta kebiasan yang mentradisi di masyarakat yang kemudian dikenal dengan sebutan  Seni tradisional.

B. Seni bagian dari Totalitas Kehidupan

Seni tradisional, adalah bagian dari ‘totalitas kehidupan’, yang menjadi ciri manusia sebagai makhluk khusus, dan karena itu sekaligus merupakan wilayah kegiatan yang bisa merasuk pada penggalian nilai-nilai manusia yang tidak akan pernah habis.  Dalam perkembangan sejarah di Indonesia, terutama di Cirebon, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, seni tradisional yang banyak memberikan kontribusi pada masyarakat, terutama membentuk karakter sikap, budi, dan bahasa.

 

Seni tradisional   telah menjadi  media atau alat yang sangat berjasa dalam mempersatukan umat manusia, yaitu  menyebarkan agama Islam, atau metode untuk menerapkan ajaran-ajaran agama Islam.  Agama Islam disebarkan oleh para wali tanpa kekerasan. Islam masuk ke tanah Jawa dengan jalan damai. Sesuai dengan makna dasar Islam  dari kata aslama, yang mengandung makna damai, ternyata panji-panji Islam tempo dulu mampu menyebarkan agama Islam dengan damai. Penyebaran Islam di Jawa, terutama Indonesia berjalan lancar dan tidak menimbulkan konfrontasi dengan pemeluk agama sebelumnya. Islam masuk  ke Indonesia melalui pantai Aceh,  dibawa oleh para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab saudi dan sebagaian dari Gujarat

 

Penyebab proses Islami berjalan damai karena kepiawaian para mubalig dalam memilih media dakwah, seperti sosial budaya, ekonomi dan politik. Sunan Gunung Jati (Cirebon Jawa Barat), misalnya mampu menarik simpati rakyat Cirebon dan sekitarnya  dengan Pertunjukan Topeng. Dengan melakukan pendekatan secara filosofis yang tersirat pada simbol-simbol gerak dan pemakaian kedok dengan 5 warna dan rupa, ia mampu  menjabarkan personifikasi dari karakter atau watak manusia, dengan sareat, tarekat, hakekat, marifat, dan pusatnya manusia napsu mulhimah  yang digambarkan dengan tokoh Klana, Tumenggung, Rumiang, Pamindo dan Panji.  Tarian Panji merupakan masterpiece  dari rangkaian lima tarian Topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Apabila manusia dapat mencapai ‘Panji’ yang mampu menahan diri, emosi, serta nafsu,  yang digambarkan dengan gemuruhnya gamelan akan tetapi tetap bergerak tenang, maka telah mencapai manusia  hidayah atau sempurna.

Begitu pula Sunan Kalijaga  (Jawa Tengah&Jawa Timur) dengan Pertunjukan Wayang Kulit yang memunculkan berbagai karakter manusia yang dibawakan oleh dalang sebagai sutradara.   Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo-Sunan Kalijaga  menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena Wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan Wayang Kulit di mana orang hanya bisa melihat bayangan. Dalang  (Sunan Kalijaga) dapat menghidupkan berbagai lakon kehidupan manusia, merupakan dakwah yang sangat bijaksana.

 

Di Kraton Yogyakarta Tari Bedaya ciptaan Hamengku Buwana ke 1, dilakukan oleh 9 orang penari perempuan merupakan simbol manusia sempurna (dikategorikan manusia sempurna bila bisa menutupi lubang manusia yang berjumlah sembilan).  Adapun Serimpi ditarikan oleh 4 penari putri (tari perang) lambang  keprigelan 4 penari putri dalam mempertahankan dan melawan angkara murka. Empat penari lambang dari arah mata angin (utara, selatan, timur, barat: kiblat papat), agar manusia selalu waspada dan melihat ke berbagai arah, serta dapat mengendalikan 4 sifat  napsu amarah, laumah, muatmainah, sofiah (Endang Caturwati: 2011, 45).

 

Selanjutnya daerah-daerah lainnya,  antara lain Aceh, Minang, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terdapat seni pertunjukan  yang dinamakan Hadro, Saman, Solawat, dan Genjringan, baik menggunakan media vokal maupun gerak, serta diiringi dengan alat musik rebana yang isi syairnya merupakan pujian pada para Nabi, ajaran kebajikan,  serta puji syukur pada Alah swt, itupun merupakan metoda untuk lebih meyakini ajaran-ajaran Agama Islam.

 

    Seni pertunjukan juga berusaha mendekatkan manusia  pada alam yang arif. Betapa alam yang kaya yang sering dijadikan tema garapan seni pertunjukan menuntun manusia pada kearifan. Salah satu contoh adalah  ‘alam takambang jadi guru’ yang menjadi pijakan atau filosofi seni pertunjukan di Sumatera Barat. Alam di sekeliling manusia merupakan guru yang bijak bagi manusia, sehingga tidak seharusnya manusia menyia-nyiakannya.  Dengan cara yang lain lagi, seni pertunjukan mengingatkan nilai-nilai moral bagi masyarakat. Ke dalam tema yang membingkainya tidak sedikit  disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, atau babad.

Seni menjadi kepanjangan norma serta nilai yang  diharapkan oleh masyarakat. Seni seringkali juga menggambarkan nilai-nilai dari alam yang bisa menjadi  guru, sebagaimana  pepatah “Minang Alam bakeh tampek batanyo, atau juga Alam Terkembang jadi Guru.  Nilai-nilai Seni tersebut sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diterapkan pada pendidikan yang berlaku sepanjang zaman.

 

C. Pendidikan Seni

Pendidikan Seni  pada masa lalu  disampaikan secara natural, mulai dari lingkungan keluarga (internal), kelompok masyarakat (grup seni), dan di lingkungan  sekolah, baik yang masuk ke dalam intra kulikuler dan ekstra kuliluler.  Pendidikan  Seni sebagai aesthetic needs memiliki fungsi yang esensial  dan unik, sehingga mata pelajaran ini tidak dapat digantikan dengan mata pelajaran lain. Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian, baik secara filosofis, psikologis maupun sosiologis ditemukan bahwa pendidikan seni memiliki keunikan peran atau nilai strategis dalam pendidikan sesuai perubahan dan dinamika masyarakat.

Seni merupakan bagian dari kebutuhan manusia, oleh karenanya dalam menyusun kurikulum dalam pendidikan seni, sebaiknya melibatkan lima kebutuhan manusia (human needs), yakni “need for self-actualization, needs for meaning, social needs, aesthetic needs, and survival needs (Pratt, 1980: 54). Hal  tersebut menunjukkan, bahwa aesthetic needs dipandang sebagai bagian yang esensial dari kurikulum sekolah, sehingga penting dilaksanakan di sekolah-sekolah.

Munculnya para seniman, kriyawan, ahli seni pada masa lalu direkrut melalui pendidikan seni di luar persekolahan. Dalam perjalanan sejarah di Indonesia seni berkembang  di kerajaan dan juga di masyarakat seiring dengan penyebaran agama. Seni diawali oleh kerajaan (raja), pimpinan agama (gereja), serta para wali dalam penyebaran agama Islam.  Dalam hal ini raja dan  pimpinan agama selaku patron (pelindung) terpanggil untuk bertanggungjawab dalam mendirikan lembaga pendidikan seni dan mengelolanya sebagai upaya melestarikan kehidupan seni dan senimannya. Pada masa itu berarti terdapat dua lembaga pendidikan seni secara berdampingan yang satu di luar sistem persekolahan dan yang satu pendidikan seni dalam sistem persekolahan.

 

Pendidikan menurut Carter V. Good (Dalam Djumransyah, 2006: 24) adalah Proses perlembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Sedangkan menurut Godfrey Thompson, pendidikan merupakan pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan tingkah lakunya, pikirannya dan sikapnya.

John Stuart Mill (Dalam Abubakar,1982: 8) menyatakan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan orang lain, dengan tujuan mendekatkan anak didik kepada tingkat kesempurnaan.

 

Dari pengertian tersebut  dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah segala upaya manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani), dan jasmani (Pancaindera serta keterampilan-keterampilan).

 

Oleh karenanya  para pendidik mempunyai tugas untuk  meluruskan kembali pola pikir dan konsep-konsep pendidikan agar sesuai dengan tujuan dasarnya namun tetap dinamis mengikuti kebutuhan masyarakat.

 

 

1. Sistem Pendidikan Seni Tradisi di Luar Persekolahan

Sistem pendidikan seni tradisi diluar persekolahan sudah lama ada di Indonesia sebelum masa pemerintahan kolonial. Hidup dan berkembang di Indonesia yang merupakan sistem efektif untuk pengrikrutan seniman atau pekerja seni melalui mengalihkan keterampilan dari generasi ke generasi.

 

a. Sistem Pewarisan (parental sucsesion/penggantian orang tua)

Di Indonesia, sebelum pendidikan seni dikenalkan di sekolah ada cara mengalihkan keterampilan ketukangan (crafmanship) seorang seniman/kriyawan dalam hal ini orang tua kepada anak dengan cara pewarisan. Cara pewarisan ini bagi orang tua merupakan kebanggaan, meskipun ada pemaksaan namun bagi lingkungan masyarakat cara ini didukung dan dilakukan untuk menurunkan seni kepada anak-anaknya. Dalam perkembangannya cara pengalihan keterampilan seperti ini ditolak karena berkembangnya pandangan hidup anak dan masyarakat. Tidak semua anak mempunyai bakat dan minat seperti orang tuanya, Akan tetapi telah terbukti, adanya faktor internal yang kuat ditambah faktor gen sangat mempengaruhi minat anak untuk mendapatkan pewarisan seni dari orang tuanya, banyak contoh para dalang di di Jawa Barat misalnya dalang Sunarya asal Jelekong Jawa Barat, menurunkan kepada anak-anaknya Ade Sunarya, Asep Sudandar Sunarya dan lain-lannya; serta   cucu-cunya, Deden Asep Sunandar Sunarya bahkan keponakannya. Begitu pula halnya Sinden, di Jawa Barat banyak Sinden-sinden generasi sekarang yang berasal dari garis turunan, seperti Cicih Cangkurileung, Cicih Muda, yang menurunkan Cineur (anak Cicih Cangkurileung) sinden serbabisa (menari, nyinden, penyanyi lagu-lagu pop dan dangdut). Kendatipun Cineur telah dipisahkan oleh ibunya sejak kecil untuk sekolah di Bandung hingga Perguruan Tinggi (memperoleh geral SH) dengan tujuan agar tidak mengukuti jejak ibunya menjadi Sinden, toh akhirnya kembali  ke Subang asal kelahirannya dan  menjadi   Sinden sampai sekarang. Ibarat pepatah ‘buah tidak akan jatuh jauh di sekitarnya’ dan Cineur melakukan sesuai kondisi yang ada  “ these unconscious whises may concern power, riches, fame, honor, or love”, dalam arti  keinginan-keinginan bawah sadar yang berkaitan dengan kekuatan, kekayaan, reputasi, kehormatan,atau cinta. pada kenyataannya ibunya Cicih Cangkurileung walau hanya menjadi sinden dia kaya, tekenal, dan pada akhir hidupnya menjadi hajah yang disegani masyarakat Subang sebagai sesepuh Sinden. Hanya saja Cicih berusaha menghindari  agar anak-anaknya  tidak mengikuti jejak  seperti dirinya,  terutama pada  sisi yang tidak disukai pada kehidupan Sinden, yaitu kawin cerai (Endang Caturwati, 2011: 334).

 

b. Sistem Pencantrikan (apprentice)

Munculnya sistem pencantrikan merupakan bentuk reaksi penolakan terhadap sistem pewarisan, karena dipandang bahwa setiap anak tidak selalu mewarisi bakat orang tuanya. Pemindahan keterampilan tidak harus dari orang tua kepada anak, bisa kepada anak lain yang berminat dan berbakat. Ada seleksi saat rekruitmen murid. Murid mengikuti kemauan guru. Pada masa lalu banyak para orang tua yang ingin anaknya menjadi seniman menitipkan pada Dalang-dalang pinunjul, sinden pinunjul, atau seniman lainnya seperti pembatik, pelukis dan pengukir. Akan tetapi  di kalangan masyarat banyak juga yang langsung ikut mencantrik melalui juru panggung, artinya sebagai individu para calon seniman mengikuti di atas panggung ketika Dalang mentas, Sinden mentas, pemain ketoprak manggung. Begitu pula para pengukir di Jepara, penatah batu di sekitar Borobudur masyarakat ikut bekerja hanya dengan melihat dan terlibat langsung. Contoh yang dapat dilakukan oleh daerah lain adalah, ‘Saung Angklung Udjo yang berdomisili di daerah Padasuka Bandung Jawa Barat. Udjo Ngalanggena selain melibatkan anak-anaknya untuk mengelola sanggarnya, mulai dari membuat, memainkan, dan menjadi dirigent pertunjukan Angklung, juga melibatkan masyarakat di sekitarnya untuk mengerjakan pesanan-penanan alat angklung hingga Pertunjukan Angklung yang hampir se tiap saat bisa ditonton oleh masyarakat pengguna. Bahkan Udjo memberikan beasiswa bagi sekolah anak-anak pemain Anklung dengan menyisihkan dana dari hasil pertunjukannya.

 

 

c. Sistem Sanggar

Tradisi sistem pendidikan seni di luar sekolah cenderung dapat dimaknai pendidikan seni sebagai keterampilan, yaitu jenis keterampilan motorik statis dan bukan keterampilan kondisional. Mereka memperoleh ketrampilan dengan metoda khusus agar anak didik dapat menerima materi ajar sesuai modul atau jam yang sudah ditentukan. Sanggar-sanggar pada umumnya terikat dengan durasi waktu (jam) pengajaran dengan tarif yang sudah ditentukan per-jam, per-paket, hingga terkadang tidak semua siswa didik dapat menerima sesuai dengan jatah jam yang diambil. Akan tetapi banyak juga sanggar yang mengejar target pada ketrampilan praktis dan ekonomis, artinya

para adak didik memperoleh keterampilan melalui belajar sambil hidup’ (ekonomi).  Artinya merupakan keterampilan vokasional yang dapat digunakan untuk mencari nafkah.

 

 

2. Seni yang Dikembangkan dalam  Sistem Persekolahan

Pendidikan seni dalam sistem persekolahan dalam konteks pendidikan umum disebut dengan istilah pendidikan formal, sedangkan di luar persekolahan disebut pendidikan non-formal atau informal. Sistem pendidikan formal komponen-komponen pengajarannya meliputi: pengajar, siswa, kurikulum, sarana, metode, evaluasi yang terencana secara sistematik. Kompetensi pengajar, syarat siswa, kurikulum, sarana penunjang, metode pengajaran, dan evaluasi telah ditetapkan secara standar berorientasi tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pendidikan seni di sekolah mengalami berbagai perkembangan, sesuai dengan para penentu kebijakan, antara lai sebagai berikut:

 

a.Tahun 1990-an (Muatan Lokal)

Dalam kurikulum 1994 dimasukkannya muatan lokal, dalam hal ini  mata pelajaran Pendidikan Seni berubah nama menjadi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Cabang seni kerajinan sebagai bagian jenis bahan ajar muatan lokal dimunculkan, di samping tambahan mata pelajaran tersendiri sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah. Namun yang terjadi ada beberapa jenis bahan ajar yang kurang cocok masuk pada wilayah pendidikan seni. Masuknya bahan kajian kerajinan tangan memang agak menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana maupun para ahli di bidang seni. Bahan kajian kerajinan tangan pada kurikulum sebelumnya masuk pada mata palajaran Pendidikan Ketrampilan Kerajinan. Jika yang dimaksudkan bahan kajian kerajinan tangan adalah seni kerajinan tangan, masih berkaitan. Akan tetapi ternyata ada pokok bahasan yang berisi bahan kajian memasak dan menjahit. Nilai-nilai ‘seni dan memasak’ sudah sangat berbeda, yang satu urusan rasa dan ekpresi, yang satu kebutuhan perut, walaupun pada kenyataannya pada masa kini di lapangan berkembang ada seni kuliner yang menjadi industri kreatif.

 

b. Tahun 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi

Mata pelajaran kesenian dalam kurikulum 2004 sebagai inti pengembangan kemampuan di bidang estetika memiliki peran potensial yang dapat mendukung dan mewujudkan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya. Dikatakan demikian karena pendidikan seni yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural tidak hanya menumbuhkembangkan kemampuan bidang estetika saja, tetapi juga memiliki andil dalam mengembangkan kemampuan non-seni melalui pendidikan seni dibidang logika dan etika (Kamaril, 2001). Dalam kurikulum juga disebutkan bahwa mata pelajaran kesenian memiliki peranan dalam pembentukan pribadi siswa secara harmonis dalam logika, rasa estetis, artistik, dan etikanya untuk mencapai kecerdasan EQ, IQ, AQ, CQ, dan SQ. Pendidikan seni juga berperan mengembangkan kreativitas, kepekaan rasa dan inderawi, serta kemampuan berkesenian melalui pendekatan belajar dengan seni, melalui seni dan belajar tentang seni.

Esensi  pengertian Pendidikan seni dalam kurikulum 2004 merupakan semua  aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi, dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak, dan peran. Masing-masing bidang seni mencakup materi sesuai bidang seni dan aktivitas tentang gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya, serta apresiasi yang memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat. Pendidikan seni memiliki fungsi dan tujuan menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, beradap, dan mampu hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual dan ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan, dan kemampuan menerapkan teknologi dalam berkreasi seni, memamerkan dan mempergelarkannya. Secara garis besar pengaruh perkembangan konsep pendidikan seni tersebut pada kurikulum pendidikan seni di Indonesia tahun 1994 hingga tahun 2004 cenderung menggunakan gabungan pendekatan disiplin ilmu, berbasis anak dan berbasis multikultural.

 

Di berbagai negara termasuk Indonesia telah mengalami beberapa kali pengalaman penggunaan model atau tipe kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Masing-masing negara memiliki pengalaman sendiri dalam menyelenggarakan kurikulum termasuk kurikulum pendidikan seni. Pemilihan dan penggunaan kurikulum tersebut dalam praktik penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan determinan atau faktor penentu yang mempengaruhi kondisi negara tersebut, bisa faktor filosofi, psikologi, sosiologi, IPTEKS, budaya, politik bahkan faktor ekonomi. Faktor inilah mempengaruhi konsep dan fungsi pendidikan seni yang seterusnya menjadi landasan program pengajaran seni. Namun demikian untuk Indonesia umumnya, Sunda Jawa Barat, Melayu, khususnya Seni Tradisi memiliki potensi yang  masih memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang oleh para pakar seni dunia dirujuk sebagai seni yang adiluhung, akan tetapi belum semua sekolah memberdayakannya dalam kata lain, “mengapa oleh yang memilikinya tidak diberdayakan?

 

D. Fungsi Seni 

Memang, pada dasarnya setiap seni pertunjukan yang otentik, adalah tumbuh sebagai ekspresi masyarakat pendukungnya, yang bisa  memenuhi sebuah fungsi sosial, berarti  nilai kualitatifnya tidaklah lenyap di dalam fungsinya (Arnold Hauser: 1985: 308). Seni pertunjukan yang berkembang di Indonesia, pada kenyataannya banyak yang tumbuh sebagai ekspresi masyarakat, yang lebih komunikatif  serta sarat dengan interaktif, terutama pada kesenian rakyat seperti teater tradisi.

 

Hampir di berbagai daerah di Indonesia memiliki teater dengan penamaan yang berbeda, baik teater boneka, maupun teater yang dibawakan oleh manusia, antara lain   Sandiwara, Longser, Wayang Golek, di Jawa Barat; Ketoprak, Wayang Wong, Wayang Kulit di Jawa Tengah, Ludruk di Jawa Timur.  Makyong di Minang dan Riau,  Begitu pula  seni tutur, seperti Pantun di masyarakat Melayu;  Beluk, Calung, Reog,  di Jawa Barat. Seni pertunjukan  tersebut berkembang tanpa diketahui siapa kreator pertama, hingga kemudian  muncul para generasi penerus,  para koreografi muda  dan komposer muda yang akhir-akhir ini semakin variatif coraknya. Hasil karyanya, menunjukkan kecenderungan dalam melakukan reinterpretasi, seleksi dan eksperimentasi budaya berbasis pada tradisi seni yang bersumber dari lokal: ‘karya-kaya kreatif’,  maupun kolaborasi dengan kesenian di luar daerahnya.

 

1. Seni  Sebagai Media Pendidikan

Pembelajaran seni pertunjukan mampu menjadi media penanaman nilai-nilai kehidupan secara kontekstual sehingga sangat membantu proses terbentuknya kepribadian. Orang tua di daerah Jawa Tengah pada masa lalu mewajibkan anak perempuannya berlatih menari dan melantunkan lagu-lagu pupuh yang bermuatan nilai-nilai kebajikan. Sedangkan di Jawa Barat dan Minang, untuk anak laki-laki, wajib berlatih mengaji, ngawih, maempo atau pencak silat, sebagai bekal untuk ‘ngaji rasa’, ‘ngaji diri’ dan siap menghadapi segala masalah dan rintangan. Di Minang, anak laki-laki bahkan ngarus tinggal di surau untuk belajar menhaji dan pencak silat. Di Jawa anak  laki-laki berlatih bermain gamelan dan padalangan.

  Seni pertunjukan sebagai media pendidikan dapat dirasakan  ketila mempelajari musik karawitan gamelan, antara lain karawitan degung, atau Kliningan, karena di dalamnya terdapat kerjasama antara para penabuh waditra saron, bonang, kendang, goong dan waditra lainnya. Begitu pula seni musik angklung, memuat nilai pendidikan, terutama  nilai sosial, kerjasama dan disiplin. Demikian pula pada Sendratari telah tertanam media pendidikan dengan terbentuknya ‘kondisi’, kesabaran, ulet dengan daya juang yang tinggi untuk membetuk suatu karya tarian, vokal, gending  dengan gerakan-gerakan yang rinci, halus, bahkan atraktif, serta iringan musik yang disesuaikan dengan suasana atau juga  sesuai dengan peran para pemain.

  Dengan menirukan tokoh lain yang tidak sesuai dengan sifat pribadi anak, atau menunggu orang lain membawakan instrumen atau gerakan dengan benar, itupun melatih kesabaran. Dengan tidak terasa akan membentuk anak  cenderung mau memahami sifat orang lain, mana yang buruk dan mana yang baik. Merupakan pembentukan karakter yang positif. Dalam bahasa Sunda dinamakan ‘surti’. 

  Ketika orang mempelajari atau melakukan seni pertunjukan, sebetulnya tengah mempelajari banyak nilai. Karena anak didik tidak hanya menyesuaikan gerak dengan musik,  tetapi juga, akan waktu  berlatih, ketaatan terhadap pakem, dan kerja sama dalam tim secara kelompok. Untuk itu Seni pertunjukan  di daerah maupun seni tradisi dapat menjadi sumber pembelajaran yang sangat baik. Terlebih kesenian tradisi yang masih terus hadir di tengah masyarakat menandakan, bahwa seni masih berarti walaupun mengalami berbagai seleksi alam.

 

 

  Di daerah Jawa Barat, dikenal berbagai lagu yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada lagu-lagu Kliningan, Degung, Tembang, Pupuh, Kawih, sebagai contoh sebagai berikut:

   Kliningan: Kulu-kulu

   Tong ka leuweung loba sirem

   mending ngala bubuahan

   Entong keueung entong ludeng

   Mun ngabela beubeuneuran 

 

   Pupuh: Maskumambang

   Itu kusir bangun ambek ambek teuing

  Turun tina delman

  Kuda dipecutan tarik

  teu aya pisan ras rasan

 

  Tembang : Jemplang Bangkong

  Bangkong di kongkorong Kujang

  Ka cai kundang cameti da kole

  Kole   dibuah hanggasa

  Ulah ngomong memeh lempang da hirup

  Hirup katungkul kupati paeh teu nyaho dimangsa

  Hirup katungkul kupati paeh teu nyaho di mangsa

 

 

  Begitu pula di Jawa Tengah, selain terdapat pada lagu Klenengan, lagu Macapat, dan lagu-lagu  jenis lainnya yang paling tepat diberikan pada anak-anak adalaah pada jenis lagu Dolanan,

  antara lain sebagi berikut:

 

 

 Mentog mentog tak kandani

 Mung Solahmu angisin ngisini

 Ojo tansah demprok ono kandang bae

 Enak-enak ngorok ora nyambut gawe

 Mentog mentog mung sulahmu

 Megal megol gawe ngguyu

 

Lir Ilir


Lir ilir, lir ilir, tanduré wus sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar
Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana j’rumatana kanggo séba mengko soré
mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
yo surako surak hiyo.

 

 

Padhang Bulan

 

Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré

 

  Begitu juga  di daerah Melayu, dikenal berbagai Pantun yang berisi nasihat-nasihat yang sarat dengan nilai pendidikan, antara lain sebagai berikut:

  Di tepi kali saya menyinggah

  Menghilang penat menahat jerat

  Orangtua jangan disanggah

  Agar selamat dunia akhirat


  Hati-hati menyeberang

  Jangan sampai titian patah

  Hati-hati di rantau orang

  Jangan sampai berbuat salah

 Anak ayam turun delapan

 Mati satu tinggal tujuh

 Hidup harus penuh harapan

 Jadikan itu jalan yang dituju

 

 Ilmu insan setitik embun

 Tiada umat sepandai Nabi

 Kala nyawa tinggal diubun

 Turutlah ilmu insan nan mati

2.Tari Tradisional Membentuk Kepribadian

 

Pada masa lalu, seni tari yang berkembang di Indonesia terutama tari-tari yang diajarkan pada lingkungan keraton, kabupaten sekolah-sekolah, merupakan tari tradisional  yang bergaya klasik, yang cenderung memiliki pakem serta nilai-nilai, yang harus diikuti dan dipatuhi hingga tarian tersebut dikuasai oleh peserta didik. Tidak sekedar hanya sampai bisa menarikan suatu tarian dengan bagus. Mulai dari sikap gerak, pose tubuh, rangkaian gerak, secara unity memiliki makna serta simbol-simbol yang harus dihayati dengan baik, dan  benar. 

 

Secara empiris seni tari dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang banyak memberikan manfaat, terutama membentuk mental siswa didik, baik secara pribadi, maupun secara sosial, kebudayaan,  serta kreativitas. 

 

Seni tari juga memberikan rasa kesenangan dan kegembiraan pada pelakunya. Gerakan yang dilakukan oleh seluruh tubuh secara intelektual, emosional, dan fisikal, merupakan sarana yang ideal untuk menumbuhkan kesadaran diri, dan perkembangan diri, merubah sikap menjadi pribadi yang luwes, mandiri, percaya diri, dan toleransi. Pembelajaran seni tari mampu menjadi media penanaman nilai-nilai kehidupan secara kontekstual sehingga sangat membantu proses terbentuknya kepribadian.

 

Tidak beralasan apabila para oang tua di daerah Jawa Tengah pada masa lalu mewajibkan anak perempuannya berlatih menari, karena banyak  nilai-nilai yang didapat dari menari. Mulai dari sikap etis, rengkuh, duduk dengan sikap tangan menyembah, sebagai rasa syukur dan mohon doa pada Allah, swt atau sesuai dengan kepercayaan masing-masing, agar tariannya bisa ditampilkan dengan bagus, serta sebagai tanda  menghormat pada penonton pada awal penyajian dan akhir penyajian tari.

 

Sikap tubuh dan gerak tari tersebut, secara etika telah mengajarkan  tata-titi sopan santun, bahwa  sebagai mahluk sosial pada setiap datang dan pergi harus mempunyai etika mengucapkan selamat datang dan mohon pamit, yang diungkapkan melalui bahasa tubuh.  Seni Tari juga  mengajarkan kepekaan  rasa ritmis dan penjiwaan, serta  melatih koordinasi antara otak, rasa, wirahma, dan motorik tubuh.  Seni Tari secara unity bagi kaum perempuan mengajarkan tata krama, etika dan kepribadian, sekaligus ketrampilan, keluwesan, kehalusan budi, serta rasa keindahan. Prinsip tari sebagai ‘pendidikan rasa’ yang berkembang sebagai cara mengajarkan tata krama, sopan santun atau etika. Ada empat macam etka atau tata krama: (1) Trapsila (pembawaan diri), yang berarti setiap gerakan itu diatur....segala sesuatu ada dalam gerak tari, misalnya kalau lewat depan seseorang, caranya membungkuk, bagaimana lampah pocong (jalan sambil jongkok, biasa dilakukan oleh pelayan penari ketika masuk keluar dari arena tari ); caranya duduk selama berjam-jam dalam sila marikelu (bersila), posisi gagah menghormati Sultan, kedua tangan dilipat di atas pangkuan tanpa gelisah, bagaimana memegangi wiru dengan tangan kiri agar kelihata sesalu rapi, dan lain sebagainya; (2) Subasita, sopan santun bersifar ramah, rendah hati, tidak arogan, menghormati dan memikirkan orang lain; (3) Unggah-ungguh, penggunaan bahasa sesara pantas; (4) Udhanegara, kesopatan secara umum yaitu harus konsisten denga apa yang diucapkan dan dilakukan (Felicia Hughes-Freeland, 2009:162).

 

 

Di daerah Jawa Barat pada masa lalu anak laki-laki, justru  sebaliknya. Sifat dan karakter laki-laki  yang maskulin, kuat, lahir maupun batin ditanamkan melalui seni gerak ‘penca silat’ atau ‘maempo’, ditambah pula dengan  pelajaran mengaji,  ngawih atau tembang. Itu semua sebagai  bekal untuk ‘ngaji rasa’, ‘ngaji diri’ dan siap menghadapi segala masalah dan rintangan. Di daerah Minang, anak laki-laki bahkan harus tinggal di surau untuk belajar mengaji dan pencak silat. Di daerah Jawa anak  laki-laki, selain belajar silat juga  berlatih menabuh  gamelan dan padalangan.

 

  Seni tari merupakan proses pembelajaran kesenian yang utuh, suatu proses yang menempatkan seni pada bingkai kebudayaan. hal ini bisa dirasakan ketika  mempelajari seni tari secara keseluruhan. Gerak tarinya,  musik karawitan pengiringnya, tata rias busana, serta properti yang dipakai sangat menghidupkan tarian.  Apabila di tarikan di atas panggung merupakan ‘lukisan yang bergerak  yang ‘dibingkai ruang’, yang terpadu dengan iringan musik. Merupakan wujud seni yang harmoni. Adanya itu semua merupakan koordinasi  dari berbagai unsur, yang menciptakan nilai  sosial, kerjasama dan disiplin.

Demikian pula pada Sendratari telah tertanam media pendidikan dengan terbentuknya ‘kondisi’, kesabaran, ulet dengan daya juang yang tinggi. Karena  untuk membetuk suatu karya pergelaran Sendratari, harus melibatkan berbagai unsur seni, seperti vokal, gending  dengan gerakan-gerakan yang rinci, halus, bahkan atraktif, serta iringan musik yang disesuaikan dengan suasana atau juga  sesuai dengan peran para pemain.

Dengan menirukan tokoh lain yang tidak sesuai dengan sifat pribadi anak didik, atau menunggu orang lain membawakan instrumen atau gerakan dengan benar, itupun melatih kesabaran. Merupakan proses yang  membiasakan anak  cenderung mau memahami sifat orang lain, mana yang buruk dan mana yang baik. Merupakan pembentukan karakter yang positif. Dalam bahasa Sunda dinamakan ‘surti’. 

  Ketika orang mempelajari atau melakukan seni pertunjukan seni tari, sebetulnya tengah mempelajari banyak nilai. Karena anak didik tidak hanya menyesuaikan gerak dengan musik,  tetapi juga, akan menyesuaikan waktu  berlatih, ketaatan terhadap pakem, dan kerja sama dalam tim secara kelompok.

  Seni pertunjukan tari  tradisional, pada  setiap daerah memiliki keunikan masing-masing, yang dapat dijadikan sumber pembelajaran yang sangat baik. Terlebih pada jenis tari tradisional yang masih terus hadir di tengah masyarakat menandakan, bahwa  jenis ‘seni’ tersebut  masih berarti walaupun mengalami berbagai seleksi alam.

Keberadaan seni tari tradisional  masih dipandang perlu karena menyajikan keindahan, menawarkan filosofi kehidupan, menawarkan nilai-nilai kebajikan, yang  termuat pada simbol-simbol ekspresi seni tersebut. Dalam seni pertunjukan biasanya juga tergambar kearifan lokal yang terbukti berfungsi untuk mengatur hidup komunitas. Pendidikan seni tari sangat penting untuk pembentuk watak dan mental manusia.

 

3. Seni Tradisional Batik yang Sarat Nilai

 Dalam sejarah perkembangan Seni Rupa di Indonesia yang paling dominan adalah selain  Seni Ukir, Seni Pahat, Seni Gerabah, seni tenun, adalah seni Batik.  Kendatipun pada mulanya digunakan sebagai seni pakai (terapan) akan tetapi  dari bentuk, motif, serta warna tidak lepas dari unsur-unsur nilai kearifan lokal.  Batik misalnya, setiap daerah di Indonesia memiliki batik yang khas. Batik dinilai sebagai ikon budaya yang memiliki keunikan dan filosofi mendalam, serta mencakup siklus kehidupan manusia, sehingga ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Batik merupakan warisan leluhur yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Dengan keindahan berbagai corak, mutu warna alami, serta motif yang menarik, membuat kain tradisional batik sangat populer dan diterima masyarakat lokal maupun internasional. Batik memberi makna yang sarat nilai dan  seni. Tiap daerah memiliki ciri motif maupun cara pembuatan batik yang berbeda-beda.

Banyak hal yang bisa digali dari sehelai kain batik. Tidak hanya digunakan untuk
busana saja, tetapi perkembangan saat ini sudah ke arah household dan interior. Tidak heran apabila batik telah diakui dunia sebagai hasil  karya cipta peninggalan budaya Indonesia yang luar biasa.

Keindahan kasat mata dari batik dapat dinikmati dari pada bentuk, komposisi ornamen dan warna yang dihasilkan serta dari kecermatan, ketelitian dan penjiwaan dalam proses pembuatannya. Sebagai salah satu produk warisan budaya, penelusuran tentang sejarah, makna dari batik baik yang secara lisan dituturkan turun temurun maupun secara tertulis sangat menarik untuk dilakukan, dipelajari dan dilestarikan.

Kata batik mempunyai arti ‘Amba dan nitik’ yang berasal dari bahasa Jawa.  Amba artinya luas dan nitik: titik artinya Akhir dari suatu kehidupan. Maknanya seluas-luasnya kita mengarungi dunia, akhirnya akan menuju ke satu titik.  Dahulu batik dibuat oleh para perempuan sebagai kegunaan yang multi fungsi, sebagai  kain panjang perempuan dan laki-laki, membungkus bayi (bedong), menggendong bayi, anak, menggendong barang-barang, kain pengantin (dodot), hingga sebagai penutup layon atau manusia  di kala wafat. Tradisi ini ternyata bukan dilakukan di daerah Jawa  dan Sunda, di daerah lain pun Sumatera, Kalimantan, dan daerah lain di Indonesia kain batik digunakan pada saat membungkus kain saat baru dilahirkan, menggendong hingga menutup layon atau mayat ketika wafat. 

Kain batik di Indonesia bukan hanya sekedar, motif tumbuhan han dan buah-buahan, atau juga  fungsi. Akan tetapi dati setiap bentuk,  corak, dan motif  batik  mempunyai makna filosofi yang sangat luar biasa. Dari berbagai  masing-masing daerah itu berasal,  masing-masing daerah mempunyai motif dan corak yang berbeda, dan juga motif yang hampir sama hanya variasai dan warna dasar yang berbeda. Seperti  motik Sekar Jagad, Sido Mukti, Kawung, Lereng, hampir setiap daerah memiliki motif tersebut.

Pada masa lalu  batik hanya ditulis dan dilukis dengan menggunakan daun lontar dengan motif yang dominan kepada binatang dan tumbuhan. Pada masa kini bahan pewarna yang dipakaipun masih dibuat dari warna yang dihasilkan dari  jenis-jenis  tumbu-

 Perkembangan berikutnya batik menjadi salah satu jenis pakaian digunakan seluruh lapisan masyarakat,  dari kalangan bawah hingga kalangan atas dengan kualitas dan coral yang beragam.

Seni batik tetap berkembang  di Indonesia serta  tidak ada perubahan yang mencolok antara produk batik terdahulu dengan yang ada pada saat ini, karena pemilihan bahan, corak dan cara pembuatannya masih menggunakan  konsep yang digunakan oleh pembatik zaman dahulu. Dengan   resepyang cukup mudah dan praktis maka batik menjadi seni dan kerajinan yang mudah untuk dipelajari oleh banyak orang. Hanya memang  diperlukan ketelitian, kesabaran dan kreativitas untuk menghasilkan batik yang mempunyai kualitas yang baik.

 

Begitu beragamnya batik di Indonesia, Secara makna keindahan batik dapat dilihat dari cerminan kearifan budaya pada masanya, hingga  pada tanggal 2 Oktober 2009 Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Berbagai motif batik,  dalam budaya Jawa, Sunda, dan daerah lain di Indonesia   digunakan dalam rangkaian daur kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah hingga mati, selalu menggunakan kain batik.

 

E. Peran Pendidik  dan Tantangan Masa Depan

 

Masalah yang dihadapi Sekarang, adalah banyak para orang tua, melihat seni hanya  sekadar dari unsur estetika dan pretise belaka. Mereka lebih suka anak-anaknya belajar seni Barat, seperti piano, tari Ballet, dibandingkan seni-seni lokal Indonesia. Tidak jelek,  akan tetapi akan lebih baik apabila  dilengkapi dengan seni miliknya sendiri. Mereka kurang melihat ‘seni’ secara holistik atas keterkaitannya dengan sistem masyarakat. Padahal, dengan melakukan atau mengapresiasi kesenian lokal, seni miliknya sendiri. akan tersirat nilai-nilai sosial dan juga pendidikan.

 

Masih banyak orang tua siswa yang ikut campur hingga ke masalah teknis, yang akhirnya tidak mendidik. Sebagai contoh, dalam pergelaran pertunjukan Drama Tari, tidak semua anak siswa mendapatkan peran yang harus berbusana serba glamor. Tetapi orang tua siswa bersikeras anaknya harus mengenakan  busana glamor, kendatipun  memerankan gadis miskin yang serba kekurangan,  dan lain sebagainya. Oleh karenanya peran para pendidik seni menjadi sangat penting untuk  melakukan berbagai strategi dalam  menerapkan materi seni tradisional  sehingga dapat membangkitkan minat para anak didik untuk menyenangi seni tradisional dengan metode  atau cara-cara yang tepatguna.

 

Program pengajaran seni tradisional  merupakan rambu-rambu atau pedoman bagi para pendidik seni untuk melaksanakan pembelajaran seni di sekolah, disusun di samping dilandasi prinsip-prinsip kependidikan umum juga dilandasi oleh konsep-konsep seni yang berkembang. Pada dasarnya konsep seni yang melandasi program pengajaran seni bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan Ipteks, sosial, dan budaya masyarakat. Hal ini dapat dimaknai bahwa konsep seni  yang dipakai di suatu negara dalam kurun waktu tertentu bisa berubah-ubah dan beragam. Berubah-ubahnya konsep seni yang melandasi program pengajaran seni secara tersirat ternyata tidak selalu terurai secara jelas dalam kurikulum pendidikan seni di sekolah.

 

Hal inilah yang menyulitkan para pendidik  seni untuk mengimplementasi konsep seni yang melandasi program pengajaran seni. Padahal pemahaman guru  atau pendidik seni terhadap konsep seni yang melandasi program pengajaran seni sangat penting dipahami para pendidik,  karena akan mempengaruhi bagaimana karakteristik kegiatan pembelajaran seni yang akan dilaksanakan di sekolah.  

 

Oleh karena itu para pendidik seni perlu memahami seluruh konsep seni yang melandasi program pengajaran pendidikan seni agar dapat menganalisis kurikulum guna menetapkan konsep seni mana yang sebaiknya dijadikan landasan program pengajaran seni yang akan dilaksanakan. Pemahaman pendidik seni terhadap konsep-konsep seni yang melandasi program pengajaran seni dapat menghindari kekeliruan yang fatal dalam pembelajaran seni di sekolah.

 

Konsep seni sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari telah sering dilakukan oleh para pendidik atau hampir oleh masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. Tetapi hal tersebut tidak pernah  disadari,  bahwa aktivitas yang diakukan merupakan bagian dari pengungkapan rasa seni.  Dalam berbusana tanpa  disadari pula  telah terjadi proses memilih perpaduan warna pakaian, sepatu, tas, maupun asesoris lain yang sesuai. Hal ini dimaksudkan untuk memperindah diri agar penampilan lebih  menarik. Dalam menata  meja kursi, taplak, hingga menanam bunga di halaman, selalu rasa keindahan untuk enak dipandang menjadi pemikiran utama. Aktivitas tersebut merupakan refleksi diri dari sikap atau perilaku manusia berkaitan dengan rasa seni.

 

Cara yang dilakukan para pendidik dalam pembelajaran seni tradisional pada dasarnya   memberikan  bimbingan sebagai dasar pengembangan rasa percaya diri anak didik melalui perlakuan, seperti memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi, menumbuhkan rasa bangga, melatih berekspresi, berkreativitas, bersosialisasi, melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada anak,  yakni:

 

(1)   Materi seni disesuaikan dengan karakter anak, sebagai contoh antara lain seperti tari atau lagu tradisional bergembira dan mengandung permainan, dengan garapan baru yang mampu menghibur maupun mengundang simpati anak ;

(2)  Metode yang digunakan adalah peniruan, bermain, bercerita dan demonstrasi;

(3)  Evaluasi dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan perubahan perilaku anak. Setelah anak diberi pembelajaran seni tradisional  karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat dari munculnya perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi, mampu mengasah kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri, mudah berinteraksi, memiliki prestasi lebih baik, berkembang imajinasinya, dan kreatif.

 

F. Pemuliaan Seni Tradisional

 

Selain dengan cara pewarisan seni di luar selolah dan dalam sistem kurikulum di sekolah, sebagai uji ketrampilan dan pengakuan masyarakat adalah dengan cara pemulihan seni tradisional. Pemuliaan Seni Tradisional yang akan memanjangkan kodisi berkelanjutan dengan adanya festival seni tradisional, yaitu  kegiatan merayakan hari  atau peristiwa yang dianggap penting diharapkan setiap orang bisa terlibat. Setiap orang diharapkan dapat bergembira. Kegiatan festival seni diselenggarakan, dapat menjadikan  berbagai ajang,  di antaranya  adalah:

 

1. Ajang Promosi. Melalui ajang festival tersebut berbagai jenis kesenian tradisional dan seni  kreasi akan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Dari sini diharapkan akan semakin banyak warga masyarakat yang tertarik untuk mempelajari berbagai seni pertunjukan, atau seni rupa, seni kria tersebut, akan semakin banyak sanggar-sanggar kesenian yang mengajarkan kesenian-kesenian tersebut kepada generasi yang lebih muda.

 

2.Ajang Ekspresi, lebih terbuka dan lebih bebas untuk para pendidik untuk melibatkan hasil seni pada anak didiknya. Apabila dalam festival-festival didanai dari pemerintah, pengusaha atau perusahaan swasta, mereka yang akan ditampilkan biasanya diseleksi terlebih dahulu, akan tetapi tidak demikian halnya dengan festival seni tradisional.  Seleksi di sini boleh dikatakan merupakan “seleksi alam”. Mereka yang mempunyai kemampuan berkesenian dan kemampuan materiil yang mencukupi dapat turut ambil bagian. Oleh karena diperlukan sponsor atau stakeholder yang terkait yang mau ikut andil dalam kegiatan tersebut.

 

 

G.Penutup

 

Karya seni pada hakekatnya diciptakan untuk disajikan pada masyarakat; dengan demikian karya seni mempunyai fungsi sosial.   Dengan kata lain seni dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam kelompok-kelompok tertentu. Dapat mengarahkan cara mereka berfikir, merasakan dan kadang-kadang juga menentukan tindakan mereka.  Dalam hal ini peran guru  atau pendidik  sebagai pewaris generasi penerus bangsa sangatlah berperan dalam menentukan ‘konsep Pendidikan Seni  dalam Pembentukan Karakter Bangsa’,

 

Oleh karenanya dalam konteks memuliakan seni tradisional,  seni tidaklah hanya sekedar untuk menyajikan suatu tontonan yang indah dan menyenangkan, melainkan seni juga harus menjadi tuntunan.  Dalam hal ini peran pendidik atau guru sebagai penyampai misi mempengaruhi atau mewariskan  seni sangatlah penting.

 

Adanya berbagai strategi yang tepat guna merupakan modal sosial yang harus dimiliki oleh para pendidik sebagai sumber pewarisan seni pada masyarakat, baik melalui  luar sekolah atau pada sekolah-sekolah. Ada baiknya para pendidik selalu mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai workshop seni tradisional,  sekaligus selalu mengapresiasi seni tradisional dan seni non tradisional untuk elaborasi sebagai bekal dalam mengkemas bahan ajar yang tepat guna, sesuai kondisi dan situasi.

 

 

Atas dasar uraian yang telah dipaparkan, akhirya dapat disimpulkan, bahwa tantangan para  pendidik seni melalui potensi budaya lokal atau seni tradisional, adalah Motivasi Sumber Daya Manusia (SDM  pendidik seni tradisional)  yang kreatif, serta pandai  memberdayakannya (menfungsikan), hasil didikannya pada ajang-ajang eksistensi seni tradisional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KEPUSTAKAAN

 

Brandon, James R.  Theatre in Southeast Asia. Cabridge, Massachusetts:

 Havard  University Press, 1967.

 

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl.  Accelerated Learning. Nuansa: Bandung, 2002.

 

Edy Sedyawati. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Rajawali Pers: Jakarta, 2007.

 

Endang Caturwati, Pertunjukan Indonesia,  Bandung: Sunan Ambu STSI  

 Press 2007.

 

Endang Caturwati, ed. Seni dalam Tumpuan Tradisi, Bandung: Sunan Ambu  Press, 2009.

_______________. Sinden Penari Di Atas dan Di Luar Panggung. Bandung: Sunan Ambu Press& Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

 

Hauser, Arnold. The Sociology of Art . Chicago and London: The

University Of  Chicago Press, 1985.

 

Hendayat Soetopo. Pendidikan dan Pembelajaran. UMM Press: Malang,  2005.

 

Hughes, Felicia- Freeland. Komunitas yang Mewujud. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.

 

Linsay, Jeninfer  “ Cultural Policy an Performing Arts in Soteasst Asia”, dalam Biddragen.

 

MK. Jazuli. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. UnesaUniversity Press: Surabaya, 2008.

 

Royce, Anya Peter,  The Antropology of Dance . Bloomington and London: Indiana University Press, 1980.

          

Shri Ahimsa-Putra, Heddy Festival seni Rakyat” , Seminar Budaya STSI Bandung, 2006.

 

Studi Pemetaan Industri Kreatif,  Departemen Perdagangan Republik Indonesia,  2007.

Post a Comment for "Materi: Pendidikan Seni dan Pembentukan Karakter "