Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan guru yang menguatkan nilai-nilai yang mendukung murid, bersifat kolaboratif, mandiri, inovatif, dan reflektif. Sebagai seorang guru penggerak, saya akan berperan sebagai pemimpin pembelajaran, menggali kolaborasi dan menjadikan kepemimpinan siswa sebagai tujuan akhir dari proses pembelajaran, menjadi seorang coach untuk guru-guru lain dan menggerakan komunitas praktisi. Pengimplementasian nilai dan peran ini menjadi sangat penting bagi saya sebagai calon guru penggerak.
Visi pribadi saya adalah menciptakan Sekolah Kreatif, Inovatif dan Edukatif Berlandaskan Profil Pelajar Pancasila, yang dapat direalisasikan melalui prakarsa perubahan ATAP dengan menggunakan Pendekatan Apresiatif BAGJA. Untuk pelaksanaan BAGJA, diperlukan budaya positif di sekolah, seperti Disiplin Positif, Motivasi Prilaku Manusia (hukum dan penghargaan), Posisi Kontrol Guru, Restitusi, Keyakinan Sekolah dan Keyakinan Kelas, serta Segitiga Restitusi.
Saya berupaya keras untuk menciptakan Budaya Positif di sekolah, dengan berperan sebagai Ing Ngarso Sungtulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Saya juga memiliki komitmen yang kuat dalam diri saya serta motivasi intrinsik dalam melaksanakan tugas sebagai guru penggerak. Sebagai sarana menanamkan nilai-nilai kebajikan universal, saya akan mengembangkan keyakinan kelas dan keyakinan sekolah, dengan menggunakan pernyataan-pernyataan positif. Sebagai seorang guru, saya juga bertanggung jawab untuk menangani masalah siswa dan memposisikan diri sebagai pengawas yang menerapkan Segitiga Restitusi. Dengan upaya dan komitmen tersebut, saya yakin bisa menciptakan budaya positif di sekolah dan memberikan dampak positif bagi siswa saya.
Disiplin dapat diartikan sebagai belajar untuk mengendalikan diri dengan menggali potensi dalam diri kita untuk mencapai tujuan mulia sesuai dengan nilai-nilai yang kita hargai; nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai kebajikan universal. Sebagai bangsa Indonesia, kita menanamkan prinsip disiplin positif berdasarkan profil pelajar Pancasila. Di luar perkiraan saya, ternyata disiplin bermakna belajar daripada hanya taat atau patuh pada peraturan. Oleh karena itu, penerapan disiplin positif harus dihindarkan dari hukuman dan ketidaknyamanan, bahkan jika memungkinkan harus dihilangkan.Teori motivasi mencakup tiga aspek utama. Pertama, motivasi untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Kedua, motivasi untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Dan ketiga, motivasi untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Dua aspek pertama bersifat eksternal, sedangkan aspek ketiga adalah bersifat internal, sejalan dengan tujuan disiplin positif.
Hal yang menarik adalah bahwa motivasi untuk menghargai diri sendiri ini dapat memberikan ruang yang besar untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan universal. Seperti yang kita ketahui, disiplin positif tidak sepenuhnya melibatkan hukuman atau sanksi negatif, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip kebaikan dan pengembangan diri. Dalam konteks ini, motivasi dalam diri individu untuk menghargai dirinya sendiri dan menanamkan nilai-nilai kebajikan, dapat menjadi faktor kunci dalam penerapan disiplin positif untuk membentuk karakter anak muda yang mempunyai nilai moral dan sosial yang tinggi.
Hukuman sebaiknya ditiadakan dalam dunia pendidikan karena dapat menumbuhkan motivasi eksternal yang tidak sehat pada siswa. Selain itu, penanaman disiplin dalam membentuk konsekuensi juga sebaiknya dihindari oleh guru karena tidak efektif untuk jangka panjang. Hukuman dan penghargaan efektif hanya untuk jangka pendek dan tidak menghasilkan hasil positif dalam jangka panjang. Bahkan, menurut Alfie Kohn (1993) dalam bukunya berjudul "Dihukum oleh Penghargaan", penghargaan memiliki pengaruh positif yang sementara, tetapi memiliki dampak yang negatif dalam jangka panjang.
Beberapa dampak negatif dari penghargaan tersebut seperti penghargaan menghukum, penghargaan yang memberi jumlah tetap, penghargaan yang tidak efektif, penghargaan yang merusak hubungan, penghargaan yang menurunkan kualitas, penghargaan yang mematikan kreativitas, dan penghargaan yang mengurangi motivasi intrinsik siswa. Oleh karena itu, para guru harus menghindari hukuman dan penghargaan dalam memberikan motivasi kepada siswa, melainkan memfokuskan pada peningkatan kecintaan siswa terhadap pelajaran dan proses belajar, serta membentuk kesadaran siswa terhadap tujuan yang ingin dicapai. Sebuah lingkungan belajar yang positif dan mendukung juga dapat memainkan peran penting dalam memotivasi siswa untuk belajar secara aktif dan bersemangat.
Seiring dengan penghapusan hukuman dan penghargaan, penting untuk mengembangkan pola restitusi dalam dunia pendidikan sebagai bagian dari pendekatan disiplin positif. Restitusi dapat membantu menanamkan disiplin positif pada siswa dengan cara yang lebih sehat dan produktif. Tujuannya adalah bukan untuk menebus kesalahan, tetapi untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki hubungan antara guru dan siswa. Restitusi harus dipandang sebagai sebuah tawaran daripada sebuah paksaan dan harus membantu siswa untuk melihat ke dalam diri dan memperbaiki karakter.
Dalam sistem restitusi, pusat perhatian diarahkan pada pemulihan karakter siswa dan bukan hanya pada tindakan yang salah. Restitusi membantu menguatkan siswa dan mengembalikan mereka pada kelompoknya setelah mereka melakukan kesalahan. Dalam hal ini, restitusi juga fokus pada solusi ketika siswa melakukan kesalahan sebagai bagian normal dari proses belajar dan bukan sebagai kegagalan. Dengan cara ini, restitusi dapat membantu mendukung proses belajar dan mengembangkan keterampilan sosial dan emosional pada siswa yang dapat membantu mereka sepanjang hidup mereka.
Dalam dunia pendidikan, terdapat lima posisi kontrol yang dapat digunakan oleh guru dalam menangani perilaku siswa. Posisi kontrol pertama adalah penghukum, di mana guru akan menggunakan hukuman fisik atau verbal untuk membentuk disiplin siswa. Posisi kontrol kedua adalah pembuat merasa bersalah, di mana guru akan menggunakan keheningan yang membuat siswa merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Posisi kontrol ketiga adalah teman, di mana guru akan berusaha mengontrol perilaku siswa melalui persuasi tanpa menyakiti mereka. Posisi kontrol keempat adalah pemantau, di mana guru berdasarkan pada peraturan dan konsekuensi yang telah ditetapkan. Posisi kontrol kelima adalah manajer, di mana guru akan bekerja sama dengan siswa dan memberikan dukungan agar mereka dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Hal yang menarik adalah bahwa sebaiknya guru menggunakan posisi kontrol manajer yang dapat membantu siswa menghargai diri sendiri. Dalam posisi kontrol manajer, siswa diminta mempertanggungjawabkan perilakunya dan dapat memilih solusi untuk mengatasi permasalahan di mana guru hanya sebagai penyedia bantuan. Dalam hal ini, siswa diarahkan untuk tidak hanya menghindari hukuman atau ingin mendapatkan penghargaan, tetapi juga membangun koneksi emosional dengan lingkungan belajar yang positif dan mengembangkan keterampilan yang membantu mereka menangani situasi yang sulit dengan lebih efektif. Dalam jangka panjang, posisi kontrol manajer memberi dampak yang lebih positif dalam membentuk karakter siswa dan membangun hubungan yang baik.
Dalam Choice Theory William Glasser, terdapat lima kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi, yaitu kebutuhan bertahan hidup, kebutuhan akan diterima atau kasih sayang, kebutuhan akan pengakuan atas kemampuan, kebutuhan atas pilihan atau kebebasan, dan kebutuhan untuk merasa senang atau bahagia.
Hal yang menarik adalah bahwa penerapan segitiga restitusi dalam pendidikan dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut pada siswa. Dalam segitiga restitusi, guru berperan sebagai mediator antara siswa yang melakukan kesalahan dengan orang atau kelompok yang mungkin dirugikan oleh kesalahan tersebut. Melalui proses restitusi, siswa diberikan kedamaian batin yang dapat menunjang kebutuhan akan kasih sayang, sambil memperbaiki hubungan dengan orang atau kelompok yang terkena dampak dari kesalahan mereka. Proses restitusi juga dapat membantu siswa untuk mempelajari kebutuhan akan pengakuan atas kemampuan dan pilihan atau kebebasan untuk mengambil tindakan yang tepat.
Dalam jangka panjang, penerapan segitiga restitusi dapat membantu siswa untuk memperoleh perasaan senang dan bahagia, sambil memenuhi kebutuhan dasar manusia mereka sesuai dengan Choice Theory William Glasser. Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini dapat mendukung siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang positif serta membantu mereka tumbuh menjadi individu yang lebih terampil dan bertanggung jawab.
Keyakinan kelas mencakup nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati oleh semua anggota kelas, tidak terikat pada latar belakang suku, negara, bahasa, atau agama. Keyakinan kelas adalah pernyataan abstrak dari nilai-nilai tersebut, biasanya dituangkan dalam kalimat positif yang mudah dipahami dan diingat oleh semua anggota kelas. Dalam proses pembuatan keyakinan kelas, semua anggota kelas harus berkontribusi dan memberikan pendapat mereka untuk mencapai kesepakatan bersama.
Hal yang menarik dari pembuatan keyakinan kelas adalah penggunaan kata-kata bernada positif sebagai inti dari pernyataannya. Dengan kata lain, pernyataan dalam keyakinan kelas lebih banyak menekankan pada nilai-nilai positif daripada larangan atau aturan-aturan yang membatasi. Hasilnya adalah perasaan positif dan optimisme yang menetap dalam diri semua anggota kelas, sehingga mereka lebih termotivasi untuk mengikuti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama.
Selain itu, penting juga bagi warga kelas untuk meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu. Hal ini akan membantu mereka untuk menyesuaikan nilai-nilai kebajikan yang sudah disepakati dengan situasi dan keadaan terkini. Dalam hal ini, keyakinan kelas tidak terlalu kaku dan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan dan kebutuhan siswa.
Secara keseluruhan, pembuatan keyakinan kelas adalah langkah yang penting dalam membantu siswa untuk mempelajari dan menginternalisasi nilai-nilai kebajikan yang positif dan universal. Melalui keyakinan kelas, siswa diarahkan untuk menjadi individu yang bertanggung jawab, menghargai keberagaman, dan saling mendukung satu sama lain dalam lingkungan kelas yang positif dan produktif.
Dalam penerapan segitiga restitusi pada kasus murid, guru dapat menggunakan tiga langkah penting, yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.
Langkah pertama adalah menstabilkan identitas siswa dengan membentuk hubungan yang positif antara guru dan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengenali kebutuhan siswa dan menciptakan lingkungan yang ramah dan aman di kelas.
Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah dengan mendengarkan siswa dan melakukan klarifikasi atas situasi yang terjadi. Guru harus memfasilitasi siswa untuk memahami efek dari tindakan mereka dan bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi orang lain.
Langkah ketiga adalah menanyakan keyakinan dengan mengajukan pertanyaan terkait nilai dan prinsip yang terkait dengan tindakan yang telah dilakukan oleh siswa. Pada tahap ini, guru dapat memfasilitasi diskusi dengan siswa untuk membantu mereka merenungkan nilai-nilai yang seharusnya dipegang teguh dan bagaimana siswa dapat menumbuhkan kepribadian yang positif.
Penerapan segitiga restitusi dalam pengajaran merupakan hal yang menarik dan relevan, karena dapat membantu guru dan siswa untuk membangun hubungan yang positif dan mempromosikan nilai-nilai kebajikan yang universal. Dalam implementasinya, guru dapat memberikan penghargaan dan perlakuan positif untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri pada siswa. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan emosional dan sosial yang positif, serta menunjang proses belajar dan pembentukan karakter.
Setelah mempelajari modul ini, saya memperoleh pengertian baru tentang cara penanaman disiplin positif dalam pendidikan. Sebagai guru, kita seharusnya menghindari penggunaan hukuman dan penghargaan yang memberikan pengaruh yang jangka pendek dan memiliki efek negatif bagi siswa. Sebagai alternatif, restitusi perlu diutamakan dengan memperbaiki hubungan siswa dengan orang atau kelompok yang mungkin dirugikan oleh kesalahan mereka. Hal tersebut juga dapat diaplikasikan dalam penggunaan segitiga restitusi, dimana guru berperan sebagai mediator yang membantu siswa memperbaiki kesalahan mereka agar tetap mendapatkan rasa kasih sayang dan diterima di lingkungan belajar. Selain itu, guru perlu mengambil posisi sebagai manajer dengan menyepakati keyakinan kelas atau sekolah sesuai nilai-nilai kebajikan universal dalam pernyataan positif yang mudah diingat dan dipahami oleh semua anggota kelas.
Dalam jangka panjang, pendekatan ini mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang positif, serta menjadi individu yang bertanggung jawab dan terampil. Selain itu, penanaman disiplin positif juga membantu siswa untuk memperoleh rasa harga diri dan kepercayaan diri, seiring dengan integritas positif dan pengembangan keterampilan penting untuk masa depan mereka.
Post a Comment for "Menciptakan Budaya Positif di Sekolah"
Kunjungi Juga :
FB. wisnu.natural
WA. 087722452802
IG. @wisnuwirandi